Tebak-tebakan Peran

2.5K 715 140
                                    

Obrolan kami tidak terlalu banyak setelah Noah menginterupsi dengan menghubungiku.

Dia bilang untuk menyampaikan pada Bara bahwa ponselnya sejak tadi terus berbunyi.

Aku baru tau seseorang bisa meninggalkan ponsel ketika sedang keluar rumah.

Kalau aku jadi dia, ponsel adalah hal pertama yang kuingat.

Jadi, begitu makanan kami selesai disiapkan, kami langsung meluncur ke rumah Noah.

Oh, soal pertanyaan Bara yang mendebarkan itu, aku berhasil menjawabnya ... yang menurutku dengan sangat-sangat baik.

"Oh kebetulan mood aku hari ini memang baik."

Dia hanya tersenyum atas kalimatku itu.

Sekarang, kami sudah berada di rumah Noah. kami sedang menikmati Sei Sapi kebanggan Noah. Well, claim-nya memang tidak salah. Ini enak. Namun, menurutku, tidak sampai yang membuatku akan berapi-api mempromosikan pada orang lain.

Jika aku harus mengenalkan makanan ini, mungkin kalimatku hanya akan, "Enak kok, cobain aja."

Aku mencuri-curi pandangan pada Bara yang memilih duduk di sofa agak jauh dari aku dan Noah. Sejak tadi, ia sibuk sekali dengan ponselnya. Kulihat, makan pun terlihat tidak terlalu menikmati karena harus mengetik sesuatu dan itu sudah berlangsung lama.

Aku sudah ngobrol dengan Noah dan sekarang kami saling diam, menikmati makanan di tangan.

Sejujurnya, aku juga sama sibuknya.

Bedanya aku sibuk menerka apa yang sedang dilakukan Bara. Sibuk mencuri pandang pada lelaki itu, karena sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. Saat di resto tadi, ia seolah sudah membuka pintu untukku, tetapi sekarang seakan menekankan kami memang sejauh itu.

Tidak ada kesempatan untukku atau ... aku tidak paham dengan teori panas-dingin dari sifat seorang lelaki terhadap perempuan.

Dia mungkin tahu aku menyukainya.

Dia mungkin tak ingin aku berharap dan apa yang ia lakukan tadi hanya hal umum yang dilakukan manusia.

"Mbak," panggil Noah yang kembali menyadarkanku.

"Ya?"

"Kamu hari ini agendanya apa selain ke sini?"

"Ng ... kosong sih, Mas. Kenapa?"

"Soalnya ini akan membosankan, lho. For some people, termasuk noh." Kedua alisnya terangkat, ia menunjuk Bara hanya dengan tatapannya.

Aku tertawa. Akhirnya punya kesempatan untuk terang-terangan menatapnya tanpa takut dinilai macam-macam oleh Noah. "Oh Mas Bara bosen kalau liat Mas Noah lukis?"

"Iya. Kerjaan lo nggak ada yang menggairahkan dikit apa, No." Noah tertawa. "Padahal, kerjaan saya keren ya, Mbak?"

"Tulll! Keren banget. Mungkin karena dia nggak terlalu into sama seni lukis?"

"Bisa jadi."

"By the way, Mas Noah." Aku menyingkirkan wadah makan karena sudah selesai. "Nanti waktu kamu lagi lukis, boleh saya rekam dan post ke Instagram?"

"Boleh banget! Mbak udah selesai makannya?"

Aku mengangguk.

"Sini, biar saya buang sekalian."

"Oh saya aja, Mas. Ditunjukin aja di mana, saya ke dapur nggak pa-pa."

"Ya masa—"

"Biar gue aja." Secara tiba-tiba, di saat dia lepas dari pandanganku, Bara datang dan merebut mangkuk sekali pakai milik Noah, kemudian menatapku. "Aku tunjukin tempat buang sampahnya, yok."

cinta bukan karena privilegeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang