Menciptakan kesempatan sendiri

1.7K 530 80
                                    

yo ndak mampu, aku ... dudu spek idamanmu. 

hehe

---


"Aku punya waktu dua jam sebelum berangkat ke kampus, ada meeting ABCD, dan ini bakalan jadi hari yang super panjang. Thank you," ucapnya semringah ketika aku memberinya air mineral yang dia tadi minta. "Kamu inget nggak kita pernah bahas soal privilege apa pun lah itu di pinggir kolam renang?"

Aku tertawa. "That's the first time we met."

"Nope, nope." Kepalanya menggeleng. "Kamu mungkin iya, aku? Enggak lah, aku udah pernah lihat kamu kali. Beberapa kali. Banyak kali sih kalau di sosmed juga kehitung." Bara menggaruk belakang kepalanya. "Akhir-akhir ini aku sadar privilege-ku nambah satu; bisa mampir ke sini sebelum berangkat kerja."

Pernah mendengar bahwa semakin dewasa, kamu akan menyadari kemampuan berakting atau pura-puramu akan meningkat secara menakjubkan? Aku tidak tahu siapa yang sedang berpura-pura, siapa yang lebih baik antara aku dan Bara di sini. Yang kutahu, saat aku meminta penilaian Mbak Andin tentang 'makeup no makeup' look ini dengan niat menutupi semua sisa frustasi, Mbak Andin meringis, menggelengkan kepalanya.

Tahu artinya?

Artinya, penyamaranku tidak berhasil.

Fondation, concealer, the best corrector out there, apa pun lah mungkin bisa menutupi beberapa bagian pada kulit wajah. Bintik hitam, bekas jerawat, segala hal yang sedang tidak ingin kamu tunjukkan pada dunia, kamu bisa menyembunyikannya. Namun, sebaik apa pun klaim dari semua bahan-bahan itu, tidak ada satu pun yang mampu menutupi 'aura tidak baik-baik saja' dari seseorang, dari wajah seseorang.

Kamu boleh memoles makeup super tebal, meminta bantuan MUA (makeup artist) terbaik, tetapi kalau yang ada di dalam hatimu, yang ada di kepalamu adalah rasa bingung, kecewa, sedih, ingin menangis, menurutmu apa yang terpancar?

Tapi Bara tidak mengatakan apa-apa.

Dia sempat terdiam menatapku, ketika aku membuka pintu—betul, aku meminta tolong staff untuk mengantarnya ke atas—, mungkin beberapa detik, sebelum akhirnya bibirnya ikut menyunggingkan senyum, sebagaimana aku juga melakukannya. Dia tidak bertanya, karena aku juga tidak membahas atau bercerita. Yang dia lakukan adalah menyodorkan paperbag, katanya berisi kopi dan snack favoritku untuk sarapan.

Sekarang, kami menikmatinya di ruang tamu, tentu kali ini aku sudah menginfokan bahwa Mbak Andin di sini dan aku berharap dia tidak akan seterkejut waktu itu. Responnya adalah tertawa, kemudian dia bilang sambil mengerling jahil, "Ini sekalian warning biar aku nggak curi-curi kiss, ya?"

Dia manis sekali, bukan?

Aku meliriknya, memandangnya dalam-dalam, menyaksikan setiap gerakannya yang menarik napas, mengulurkan tangan untuk meraih cup kopinya, menyeruputnya, jakunnya yang bergerak saat menelan minuman kafein itu, hingga sekarang dia sadar aku sedang menatapnya, menatapku balik. Bara masih tak mengatakan apa-apa, dia hanya memberiku senyuman—well, dia sekarang membuka mulutnya. "Kamu mau denger kisah lucu nggak?"

Masih dengan menatapnya intens, aku mengiyakan.

Bahkan belum memulai kisahnya, dia sudah tertawa geli. "Jadi, ada couple nih, cewek dan cowok, ya. Kita pasti udah tahu lah sama istilah Men are from Venus and Woman are from Mars—"

"Kebalik, kali, Mas."

"Oh bisa fokus?" Bara tertawa pelan ketika melihat responku yang memutar bola mata. "Si cewek ini kan lagi dateng bulan, katanya, kalau dateng bulan tuh kan sakit banget, ya? Nah, karena cowoknya ini nggak pernah ngerasain, jadi sakit yang dimaksud cewek ini nggak sampe ke si cowok. Jadi, ketika ceweknya ngeluh, ngadu kalau sakit, cowoknya bingung dan minta si cewek buat istirahat. Ceweknya jadi makin marah, bilang cowoknya nggak peka lah, nggak peduli lah, dan nggak nggak nggak lainnya."

cinta bukan karena privilegeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang