Pertanyaan Jebakan yang Tak Perlu Jawaban

2.6K 701 80
                                    

Saat aku dan keluarga sudah berkumpul di meja makan, bersiap untuk dinner, Mbak di rumah tiba-tiba menawarkan sebuah makanan.

"Kakak mau makan sei sapinya sekarang?"

Pertanyaan itu membuatku bingung.

Aku tidak request makanan apa pun dan sei sapi bukanlah salah satu makanan yang dia hidangkan di hadapan kami ini.

"Mbak masak sei sapi?" tanyaku dan Mama berbarengan.

"Tadi ada yang kirim, Bu."

"Ih kebiasaan, kalau ada yang kirim makanan bilang dong, Mbak. jangan sembarang nerima makanan gitu, kalau dari orang jahat gimana?" Mama masih dengan kalimat-kalimat panjangnya sementara aku mulai mengambil benang merah.

Sei sapi.

Aku ingat terakhir obrolanku dengan Bara semalam adalah dia bertanya apakah aku menyukai sei sapi favoritnya dan Noah.

Jadi, dia bertanya karena ingin mengirimiku hari ini?

Senyumku tak bisa kucegah. Aku menatap Mbak. "Itu dari temenku, tolong siapin aja, Mbak. Kalian harus coba, enak banget," kataku pada keluarga.

"Temenmu jualan makanan, Kak?" papa yang bertanya.

"Oh bukaaan. Itu dari resto favoritnya dan Kakak udah coba. Enak banget kok."

"Dari pacar kali!" celetuk Davka ngasal, sambil melirikku sinis.

"Pacar kamu?" Kali ini, Mama yang tidak bisa mengendalikan rasa penasarannya.

Aku hanya bisa memasang wajah memelas. Malas dengan pembahasan seperti ini yang tiada hentinya dan akan panjang sampai nanti. Jadi, lebih baik tak usah direspons sama sekali.

Dengan penuh semangat, aku mengunyah sei sapi kiriman Bara, meyakinkan mereka kalau makanan ini sungguh layak dicoba. Aksiku berhasil, mereka terlihat penasaran dan mencobanya.

Semuanya setuju dengan penilaianku, apalagi Davka, dia yang paling banyak makan, bahkan memintaku memberitahu nama restonya.

Berlebihan, I know, tetapi untuk kami yang memang jarang beli makanan di luar, hal-hal semacam ini juga sangat menarik.

Selesai makan, kami berbincang ringan, dan Papa tiba-tiba bilang, "Papa izinin kamu tinggal sendiri di apartemen."

Mendengar itu, mataku seketika membeliak, kemudian tersenyum lebar. "Serius, Pa?" Melihatnya mengangguk, aku menatap Mama. Setelah Mama sama memberiku anggukan, aku spontan bilang, "YESS!!! Thank you."

"Ada syaratnya." Well, aku tahu semua tidak akan semudah apa yang kumau. "Tiap weekend pulang."

"Pa ... justru weekend itu waktuku buat diriku sendiri."

"Okay. dua minggu sekali kamu pulang, maksimal. Nggak harus weekend."

Aku memberinya hormat.

"Kalau Papa dan Mama atau Adek mau nginep, nggak ada alasan apartemen kotor dan lain-lain."

"Siap!"

"Nggak ada jasa untuk bersih-bersih. Kamu harus totalitas, urus semua sendiri."

Aku menelan ludah.

Namun, seharusnya tidak akan sulit. Jadi, tidak ingin menyiakan kesempatan, aku langsung memberinya anggukan semangat.

"Nggak boleh bawa nginep cowok. Apa pun alasannya." Bagian ini, aku sebenarnya ingin menanyakan tentang beberapa pengecualian. Tapi, sepertinya Papa sudah merasa ini adalah keputusan final karena berikutnya, ia mengatakan, "Kamu mau coba bohongi Papa dan Mama, silakan. Kamu tau kami akan tau."

cinta bukan karena privilegeWhere stories live. Discover now