realita yang sulit dihindari

1.6K 517 116
                                    

wah, aku hebat!

----


Mau tahu satu hal tentang Yozita—Um, entah kenapa sekarang aku lebih suka dengan nama panggilan Ozi atau cukup 'Kakak' untuk keluarga—?

Kurasa bukan cuma tentang aku, tetapi kita sebagai perempuan—sebagai manusia, maksudku.

Melihat orang yang pintar.

Aku tahu ini subjektif, tetapi aku baru tahu bagian terbaik dari Bara bukan hanya saat dia sedang sibuk memasak di dapur. Melainkan hanya duduk, memakai kacamata baca, ekspresinya serius, dengan pakaian rumahan, mengerjakan pekerjaannya; kali ini, dia bilang mengoreksi tugas mahasiswanya.

Entah sudah berapa menit yang kuhabiskan hanya dengan menatapnya, dari sofa di ruang kerjanya ini, sambil menikmati camilan.

Kami sudah selesai makan malam dengan pilihan Pizza pada akhirnya. Karena Bara terlihat sudah tidak sanggup berpikir banyak, dia harus segera makan kalau aku tidak ingin melihatnya pingsan.

Pizza juga tidak terlalu buruk untuk makan malam.

Aku berhenti mengunyah, memandangi mug di atas mejanya yang berisi kopi buatanku tadi. Aku ingin bertanya apakah kopinya masih ada? Apakah dia mau kubuatkan lagi? Alih-alih membuka mulut untuk bertanya, aku malah tetap diam karena tidak tega memberi distraksi.

Dia sungguh terlihat sedang sangat fokus; membaca, mencoret sesuatu, melihat laptop, dan begitu seterusnya.

Apa yang dia butuhkan sebenarnya adalah pijatan pelan di pundaknya? Tidak tidak, aku takut tawaran ini berlebihan—tetapi, bukankah memang yang dia kerjakan ini membuat pundaknya lebih terasa pegal dari biasanya?

Well, sebaiknya aku bertanya langsung apa yang dia butuhkan.

"Mas Bara."

Kepalanya langsung menoleh. "Ya? Kenapa? Bosen, ya?"

"Enggak, enggak." Aku menggelengkan kepala kuat. "Um ... kamu butuh sesuatu? Kopi lagi? Atau mau aku pijetin pundaknya?" Aku meringis menyadari mungkin aku sudah berlebihan. "Well, kata Davka dan Papa, aku lumayan jago mijetnya. Oh ini tentu penawaran profesional dan sopan, jadi ... ya, kamu bisa nolak."

Bahunya bergetar karena tawa. Yang dia lakukan selanjutnya adalah melepas kaca mata, mengelap kedua matanya, kemudian kembali menatapku. "Aku tau tawaranmu pasti profesional dan sopan, tapi aku nggak yakin akunya yang nanti bisa profesional dan sopan." Dia menggelengkan kepala. "Kecuali kamu seneng sama yang ... sedikit kurang ajar."

Aku mengangkat sebelah tangan. "Okay, lanjutin kerjaanmu."

Bara tergelak. "Bercanda," lirihnya. "Tapi soal aku yang nggak tau bisa profesional apa enggak itu bener. Jadi, terima kasih tawarannya, but I'm good. Kamu udah mulai bosen? Mau pulang?"

Aku menggelengkan kepala.

Dia menarik kepalanya mundur, mengerutkan keningnya.

"Oh!" Aku menyadari sesuatu. "Aku lagi mau scroll sosmed juga, kok."

"Bener?"

Aku mengangguk yakin.

"Makasih, ya. Mau nemenin kerja."

Aku memberinya senyuman setulus dan semanis yang kumampu.

Dia mungkin merasa bersyukur dan bahagia ditemani, tetapi yang paling aku juga merasakan hal yang sama. Aku tidak menyesali keputusanku datang ke sini meski harus debat kecil dengan Mbak Andin. Aku tidak menyesal makan malam Pizza, memakan camilan malam-malam begini.

cinta bukan karena privilegeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang