Do people love surprises?

1.6K 485 95
                                    

hehe :)

---


"Netflix and Chill, anyone? Netflix and Chill, anyone? Netflix and Chill, anyone? Netflix and Chill, anyone?"

Sepertinya ini tidak akan berhenti.

"Netflax Netflix Chall Chill Chall Chill bilang aja mau nginep bareng. Sekarang boleh cuma tidur. Next? Who knows?"

Aku tak bisa menahan tawa.

Memberi kebebasan pada Mbak Andin, seberapa banyak dan lamanya dia mau menggodaku setelah kejadian Netflix and Chill. Mungkin dia memang tidak percaya aku dan Bara tidak melakukan apa-apa, aku juga tidak punya kewajiban untuk terus meyakinkannya.

Lebih tepatnya, aku tidak tahu bagaimana caranya.

Jadi, keputusan yang terbaik adalah membiarkannya melakukan atau mengatakan apa pun sampai dia puas dan lelah, baru semua ini akan berakhir.

Mbak Andin menyodorkan list berisi nama seniman yang selama ini bekerja sama dengan YOZ GALLERY OF ART. Kami sedang mulai menyortir karya mana saja yang nantinya akan hadir di pameran.

Tentu, ini hanya sortir singkat, karena aku tetap harus memastikannya dengan langsung.

Oh bicara soal karya, hasil kerja sama dengan Noah berjalan sangat lancar. Bukan hanya satu karya, tetapi berkelanjutan, dan tentu aku tidak berpikir dua kali untuk mengajaknya di projek ini. Dia seniman yang berbakat dan ... tampan. Mungkin terdengar jahat di awal, tetapi ketampanannya mampu menjadi jendela untuk para perempuan yang tadinya awam dengan seni lukis, menjadi pemuja juga.

Menurutku tidak ada yang salah.

Kita hidup memang harus terus memaksimalkan apa yang kita miliki, bukan?

Punya uang, maka manfaatkan itu.

Fisik yang menawan dan sehat? Manfaatkan itu.

Otak yang cemerlang? Pun sama.

"Tapi jujur, dia se-OKE keliatannya nggak, Kak?"

"Mbak Andin!" Aku refleks melemparnya dengan kertas di tanganku, kemudian kami sama-sama tertawa kencang. "Demi Allah, kami nggak ngapa-ngapain." Well, aku berharap kecupan di meja makan itu tidak layak untuk dihitung.

Dia melemparkan kembali kertas milikku tadi.

Sekarang, kami sedang fokus pada tugas masing-masing.

Aku sedang menangani bagian profil dari para senimannya. Menghubungi mereka untuk memeriksa deskripsiku sudah benar atau mungkin ada poin-poin yang keliru. Aku juga mencantumkan akun Instagram masing-masing dari mereka—yep, para seniman hebatku adalah orang yang melek media sosial, tentunya usianya pun masih bisa dibilang muda-mudi.

"Nanti, kalau udah kepilih yang volunteer, Kakak mau interview mereka juga kah?"

"Boleh. Yang jauh, boleh lewat Zoom aja."

"Okay! Kata Desti yang daftar banyak ternyata."

Kegiatanku terhenti, aku menatap Mbak Andin. "Oya?" Senyum di wajahku tak dapat kucegah. "Happy banget aku."

Ia memberiku senyuman bangga dan mengacungkan jempol.

Beres dengan isi bio singkat para seniman, aku mengirimkannya di grup untuk didesain oleh tim. Mempersiapkan segalanya jauh-jauh hari akan lebih baik daripada semuanya terburu-buru dan menjadi kacau-balau.

Aku meraih tumblr yang berisi kopi, menikmati isinya lewat sedotan sambil melihat notifikasi di ponsel.

Sebuah pesan di Instagram dari Noah.

cinta bukan karena privilegeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang