Perjalanan singkat yang terasa begitu panjang

2K 539 100
                                    

main detektif-detektif abal-abal

met bacaaa!
👙☺️😳👙
---


Aku tidak memiliki bayangan apa pun selama di perjalanan dengan kereta ini. Karena itu, tidak ada ekspektasi yang dipatahkan atau muncul rasa kecewa, karena aku berpikir semua yang terjadi memang sudah seharusnya terjadi di setiap perjalanan.

Welcome drink & snack, tempat duduknya, beberapa minuman hangat yang Bara pesan dari mini bar di sebelah salah satu kursi ... kalau tidak salah nomor, ah aku lupa, toilet, selimut, makan malam, semuanya aku nikmati dengan cukup baik.

Aku juga tidak mengingat persis setiap stasiun yang kami lewati. Kurang lebih 12 jam perjalanan—kalau aku tidak salah mengira dan mengingat yang tertulis di tiket—sekarang kami sudah sampai si stasiun Kepanjen, Malang. Sekelebat nama-nama yang kulewati tadi—mengingat dari informasi yang Bara berikan dalam menjalankan perannya sebagai tour guide—adalah stasiun Kebumen, Yogyakarta, Nganjuk, dan beberapa lainnya.

Kata Bara, Kepanjen adalah ibu kota Kabupaten Malang yang juga menjadi pusat pemerintahan dari Kabupaten Malang itu sendiri.  Total desa atau kelurahan sekitar 14 desa dan 4 kelurahan. Well, lumayan besar, bagiku.

"Nanti dijemput sama sepupuku, ya. Kita jalan keluar sana dulu."

Mengingat ini adalah daerah kekuasaannya, rumahnya, aku tak memiliki apapun lagi selain mengikutinya. Mendorong satu koper milikku sementara Bara membawa tas miliknya. Right, koperku sempat menjadi bahan olokannya, "Cewek beneran nggak bisa ya pergi singkat dengan bawaan kecil?" yang kuhadiahi dengan cubitan di perutnya.

Dia tidak perlu aku menjelaskan dengan rinci kenapa perempuan tidak bisa cukup dengan bawaannya sedikit, bukan? Ada begitu banyak hal yang terikat bagi perempuan—paling tidak bagiku. Mulai dari ujung kepala sampai kaki, semuanya sudah terjadi memang begitu apa adanya. Aku tidak merasa keberatan mendorong koper—yang menurutku pun hanya berukuran kecil. Aku membawa satu set piyama lengan panjang, satu set pakaian untuk hari ini, satu lagi untuk besok, dan satu lagi untuk pulang. Berangkat hari Jumat malam dari Jakarta, sekarang sampai di Malang sekitar pukul 06.40 WIB, dan kembali ke Jakarta hari Minggu, aku membawa 5 setelan pakaian.

Bara benar, sepertinya memang sedikit lebih banyak dari seharusnya.

"Nah itu dia."

Setelah mendengar intro itu, aku menemukan seorang laki-laki muda yang sedang melambaikan tangannya, tersenyum lebar. Ia dan Bara berpelukan singkat, aku mendengar mereka saling menanyakan kabar. Kemudian giliranku, Bara memperkenalkannya sebagai Reza, cucu dari adik kandung kakeknya Bara—Oh God, aku ikut tertawa saat Bara merasa penjelasannya memusingkan.

"Intinya gitu, pokoknya saudara, Mbak." Reza menganggukkan kepala selesai kami bersalaman. "Gimana? Baru pertama dateng ke Malang, langsung disambut gerimis ini gimana ya?"

Aku tertawa pelan. "Bukannya itu sambutan romantis ya, Za?"

"Oh asliiii, Malang cinta Mbak Ozi nih kayaknya. Sini, Mbak, aku bantu bawain kopernya."

"Oh nggak usah, Za, makasih, ini masih aman."

"Nggak apa-apa, siniiii. Sarapan dulu gimana? Yuk, Mbak, Mas?"

Aku melirik Bara, lelaki itu memberiku anggukan seolah memintaku untuk mengiyakan permintaan Reza. Kupikir tentang koper, ternyata yang dia maksud adalah keduanya; koper dan sarapan.

"Suka rawon nggak, Mbak?" tanya Reza, begitu kami sudah duduk di warung sederhana dekat stasiun. Aku melihat tulisan Rawon Sawunggaling yang lumayan besarukurannya. "Ini agak aneh sih, sarapan rawon. Tapi emang kalau enggak berat nggak kenyang kok."

cinta bukan karena privilegeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang