05| Dunia Hali

299 44 6
                                    

Siang ini Halilintar baru menyelesaikan kegiatan belajarnya. Ia benar-benar menuruti ucapan sang guru untuk menyiapkan niat, bahkan saking niatnya Halilintar menambah jam belajar lebih lama dari biasanya. Sesekali Halilintar juga bertanya jika ada soal yang menurutnya sulit.

Paman Laks pula nampak sangat senang melihat semangat belajar dari anak muridnya yang begitu tinggi. Sebelum pulang tadi, ia berniat memberikan satu PR agar muridnya mempelajari kembali materi tersebut. Namun, mengingat Amato pernah memberi larangan agar tidak ada tugas tambahan selain dijam belajar membuatnya urung.

Katanya, jangan terlalu menekan otak sang anak dengan menambahi tugas yang membebani. Sudah cukup ia berpikir dijam belajarnya, biarkan otaknya refreshing sejenak.

"Kenapa melamun, hm?" tanya Amato yang datang entah dari mana.

"Ah, tidak. Hanya melihat dunia Hali," jawabnya tanpa menoleh. Iris ruby itu tetap mengarah ke depan, memperhatikan pemandangan yang tersaji dengan indah dari jendela kamar.

Amato mengernyit bingung. Ia ikut berdiri di belakang Halilintar sembari memeluk tubuh sang anak dari belakang. "Dunia Hali?"

"Iya, dunia Hali." Halilintar mengangguk antusias. Binar di matanya terlihat sangat jelas. "Bukankah Hali hanya punya dunia Hali sendiri, Ayah?"

Kerutan di dahi Amato semakin bertambah. Dirinya tak mengerti maksud dari penuturan sang anak. Dunia Hali? Apa itu?

"Ayah, bagaimana kehidupan di luar sana? Apakah orang-orangnya terlihat bahagia?" Kediaman Amato itu sangat jauh dari keramaian. Sejauh mata memandang hanya ada hamparan rerumputan dan pepohonan hijau yang tersaji.

Itulah yang setiap hari Halilintar lihat. Diumurnya yang sekarang, ia harus berdiam diri di dalam rumah. Kalaupun ia keluar–eh, dirinya 'kan tidak diperbolehkan untuk keluar rumah. Meskipun untuk ke halaman depan atau belakang saja harus ada izin resmi. Merepotkan memang.

Amato terdiam sejenak, mengikuti arah pandang Halilintar ke depan. Sorot matanya juga nampak sendu.

"Berbahaya, sangat berbahaya."

Halilintar mendongakkan kepala, menatap sang ayah yang juga ikut menatapnya. "Benarkah?"

"Iya."

"Tapi, berbahaya seperti apa yang Ayah maksud?" Jika sudah membahas tentang dunia luar, Halilintar akan banyak bertanya seperti wartawan.

"Hali tidak perlu tahu, intinya dunia luar itu terlalu berbahaya. Tentunya itu bukan tempat yang cocok untuk anak sebaik dan semanis kamu."

"Lantas mengapa Ayah sering pergi ke dunia luar?" Amato melepaskan pelukannya, menatap dalam pada kedua netra polos Halilintar.

"Hali lupa jika Ayah bekerja di kantor?" Benar juga. Halilintar hampir melupakan pekerjaan sang ayah, pantas saja ayahnya itu selalu pergi ke dunia luar. Tapi tunggu, jika dunia luar itu berbahaya, kenapa ayahnya tidak merasa takut sedikitpun?

Ah, tentu saja. Itu Amato, ayahnya yang pemberani dan tak mengenal kata takut. Berbeda dengan dirinya yang saat lampu padam saja sudah menjerit ketakutan. Sejenak, Halilintar merasa bangga pada sang ayah.

"Tapi Hali dengar dari Paman Laks, di luar itu begitu menyenangkan. Orang-orangnya juga sangat senang tersenyum."

Amato mendengkus, Tarung sialan. Bisa-bisanya dia bercerita yang tidak-tidak pada anaknya. Apa dia segabut itu sampai membahas hal diluar mata pelajaran? Harusnya dia itu mengajarkan anaknya agar pintar, bukannya malah mendongeng aneh.

"Sepertinya apa yang Paman Laks ceritakan itu salah. Di luar sana banyak orang jahat yang bersembunyi dibalik senyum manisnya." Amato tersenyum penuh arti, ia menciumi kepala sang anak.

Jeruji HaliWhere stories live. Discover now