02| Sekolah Itu Seperti Apa?

384 56 6
                                    

Saat ini di kediaman Amato, seorang wanita paruh baya sedang berusaha membujuk sang tuan muda yang tengah merajuk dengan mengurung diri di kamarnya.

"Tuan Muda, tolong buka pintunya. Anda harus makan setidaknya sedikit saja."

Cahaya atau biasa dipanggil Bibi Aya itu mendesah pelan. Sudah setengah jam ia berdiri di depan pintu berlogo kilat kuning. Beberapa kali pula dirinya membujuk namun sang tuan muda enggan untuk membuka pintu kamarnya.

"Tuan Muda, Bibi bisa kena marah jika Tuan Besar tahu anda belum memakan apapun sedari pagi," ujar Bibi Aya yang masih tak mendapatkan respon.

Ini sudah siang dan sebentar lagi Amato akan pulang. Entah bagaimana nasibnya jika sang majikan tahu putra kesayangannya melewatkan sarapan serta makan siangnya.

"Bibi mohon, tolong buka pin–"

"Ada apa?"

Suara bariton itu membuat Bibi Aya tersentak. Ia menunduk takut kala sang tuan besar telah berdiri tepat dibelakangnya. Bibi Aya berbalik dan membungkuk memberi hormat pada Amato, selaku tuan besarnya.

"Maaf, Tuan. Tuan Muda sejak tadi tidak mau keluar dari kamarnya. Tuan Muda juga belum sempat makan sejak pagi, padahal saya sudah membujuknya beberapa kali," jelas Bibi Aya berusaha untuk tetap tenang. Meski jantungnya sudah berdetak tak karuan.

"Siapkan saja makanannya, biar saya sendiri yang membujuk anak itu," titah Amato yang langsung dipatuhi Bibi Aya.

Amato menghembuskan napas panjang, ia cukup lelah dengan urusan di kantor. Niatnya pulang ingin istirahat, akan tetapi apa boleh buat? Anak kesayangannya sedang berulah.

Amato merogoh saku celananya, mengambil kunci cadangan kamar Hali yang selalu ia bawa kemana-mana. Hanya untuk berjaga-jaga, siapa tahu akan ada kejadian diluar perkiraannya.

Ceklek

Pintu berlogo tersebut terbuka. Ia melangkahkan kakinya mendekati putra tunggalnya yang sedang berdiri menghadap jendela. Memperhatikan suasana disekitar rumahnya. Tak lupa, Amato menutup pintu.

"Hali?" Panggilannya sama sekali tak digubris oleh sang empu.

"Hali, jangan seperti ini!" ucap Amato menekan setiap kalimatnya. Ia mendudukkan diri di kasur empuk anaknya.

Matanya menatap punggung belakang Halilintar yang bersedekap dada. Bahkan ia dapat membayangkan bagaimana anak itu menekuk wajahnya. Ciri khasnya saat merajuk.

Hembusan napas lelah Amato terdengar. "Hali, saat ini Ayah sedang lelah. Jadi, Ayah mohon kamu jangan banyak bertingkah!"

"Aku tidak meminta Ayah untuk memperdulikan ku!" Akhirnya Halilintar menjawab, meski nada bicaranya sama dinginnya dengan sang ayah saat berbicara.

"Halilintar!!" Bentakan Amato sukses membuat Halilintar terperanjat kaget.

Halilintar menundukkan kepala, jari-jari tangannya mengepal erat. Menahan rasa takut yang entah datang dengan sendirinya. Halilintar takkan menyalahkan dirinya karena sudah memancing amarah sang ayah.

Amato memijat pangkal hidungnya, kini kepalanya terasa pening. Ia bangkit dari tempat tidur, berjalan menghampiri Halilintar yang masih setia menunduk.

Amato merengkuh tubuh Halilintar dari belakang, menggenggam tangan sang anak agar melepaskan kepalannya. Amato takut kalau tangan halus itu terluka.

"Ayah minta maaf, oke? Tapi sungguh, Ayah sangat lelah hari ini," ujar Amato mengusap lembut wajah anaknya.

Amato membalikkan tubuh putranya untuk ia peluk kembali. "Ayah dengar dari Bibi Aya, kalau anak Ayah yang tampan ini belum makan dari pagi, apa itu benar?"

Jeruji HaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang