07| Pemilik Cattus

211 43 5
                                    

"Bagaimana keadaan Hali?"

Bibi Aya yang saat itu tengah mengemasi barang-barangnya tersentak tatkala suara berat milik sang tuan memasuki gendang telinga. Sontak Bibi Aya langsung membungkukkan badan menghadap Amato.

"Tuan muda baik-baik saja. Sama sekali tidak rewel meskipun anda meninggalkannya."

Amato mengangguk lega. Dua hari tak pulang ke rumah membuat Amato cemas jika sang anak kembali berulah, pun dengan dirinya yang selalu berpikiran buruk pada Halilintar.

Amato hanya takut kalau anak itu mengambil kesempatan untuk kabur. Ini pertama kalinya Amato meninggalkan anaknya sendirian. Sebab sesibuk apapun dirinya, Amato akan menyempatkan diri untuk pulang demi menemui sang anak.

"Tuan ingin saya buatkan minum?" tawar Bibi Aya. Siapa tahu dengan secangkir kopi bisa meredakan rasa lelah yang mendera.

"Tidak perlu." Amato melepas jas beserta dasi yang melilit lehernya, kemudian ia letakkan di sofa. "Bukankah sudah waktunya Bibi pulang?"

Itu benar. Pelayan lain sudah meninggalkan tempat, hanya tersisa Bibi Aya dan para penjaga yang masih melakukan tugasnya.

"Tidak masalah jika Tuan menginginkan secangkir teh atau kopi, saya bisa membuatkannya." Lagipula membuat minum itu tidak menguras tenaga.

"Tidak. Bibi bisa pulang sekarang. Hati-hati di jalan." Setelah berucap, Amato membawa langkahnya menaiki tangga menuju kamar berlogo kilat kuning. Meninggalkan Bibi Aya yang masih menatap sang majikan.

"Hali?"

Manik hitam Amato menjelajah setiap sudut ruangan, mencari pemilik kamar yang seharusnya masih tertidur pulas di tempatnya. Namun, Amato tak menjumpai si pemilik kamar berlogo kilat kuning tersebut. Hingga suara percikan air dari kamar mandi mengalihkan atensinya.

Perhatian Amato teralihkan pada segumpal bulu berwarna hijau yang meringkuk nyaman di pojok ruangan. Amato mendekati kucing itu, menyentuh bulu-bulu halus yang terawat dengan baik. Anaknya cukup pintar merawat kucing temuan ini.

"Ayah?"

Halilintar keluar dengan kaos hitam serta celana pendek yang melekat pada tubuhnya. Sepertinya Halilintar baru saja selesai mandi, rambutnya terlihat lembab meskipun sudah ia keringkan.

"Jangan menyentuhnya, biarkan Cattus tidur dengan nyaman." Halilintar secara refleks menepis tangan sang ayah. Ia takut jika kucing hijau itu terganggu, lagipula Cattus baru tertidur beberapa menit yang lalu.

Sementara Amato mengernyit heran mendengar nama itu. "Cattus? Kau menamainya Cattus?"

Halilintar menggeleng pelan, kakinya berjalan mendekati ranjang lalu mendudukkan diri. "Ada kalung yang melingkar di lehernya dan itu terukir kata Cattus. Ku pikir itu nama kucingnya."

Amato mengangguk paham. Lantas tangannya mengambil pengering rambut untuk mengeringkan surai legam Halilintar. "Itu berarti Cattus sudah bertuan dan artinya kamu tidak boleh memeliharanya lagi, Hali."

"Kenapa?"

"Pemiliknya akan khawatir karena kucing kesayangannya hilang." Amato mencoba memberi pemahaman lebih pada sang anak. Terlebih lagi mengambil sesuatu yang bukan miliknya itu tidak baik.

"Hilang apanya? Kucing itu datang dengan sendirinya, Ayah. Pemiliknya bahkan tidak tahu jika Cattus menghilang. Huh, dasar tuan yang payah."

"Heh!"

Halilintar mengadu lantaran sang ayah menarik pipi kanannya. Amato sedikit terkejut mendengar Hali mengumpati seseorang yang apalagi belum jelas asal-usulnya. Oh ayolah, Amato berusaha membentuk lingkungan yang positif agar anaknya terhindar dari perbuatan serta kata-kata tak lazim. Dan sekarang anak itu sudah berani mengumpat.

Jeruji HaliWhere stories live. Discover now