12| Berbeda

268 42 7
                                    

"Tuan Muda terlihat sangat senang."

Suara Bibi Aya mengalihkan perhatian Halilintar yang tengah bermain air di tepi kolam renang. Ia sudah selesai makan siang beberapa menit yang lalu. Tak ingin melewatkan kesempatan, Halilintar memilih untuk berkeliling rumah dan berakhir duduk di tepi kolam.

Halilintar bahkan baru tahu jika rumahnya memiliki kolam renang. Ah, tahu begini, sejak awal Halilintar akan menolak permintaan sang ayah.

"Apa ada tempat atau ruangan yang belum aku ketahui, Bibi?" tanya Halilintar menatap hangat pada Bibi Aya yang sedang mengusap lembut rambutnya.

Agak lucu sebenarnya, mengingat Halilintar sudah tinggal bertahun-tahun lamanya namun belum mengetahui setiap sudut rumah.

"Menurut Tuan Muda?" Bibi Aya masih setia mengusap rambut tuan mudanya. Lembutnya perlakuan Bibi Aya membuat Halilintar merasa nyaman. Bibi Aya bagaikan sosok ibu bagi Halilintar.

"Sepertinya iya." Netra ruby itu memandangi genangan air yang bergerak abstrak. "Aku hanya tahu ruang musik, dapur, ruang tengah dan juga kamar ayah."

Oh, satu lagi. Kolam renang yang baru Hali temui sekarang. Aish, rasanya percuma membiarkan tempat dan ruangan itu dibuat tanpa ada niatan untuk digunakan.

"Tuan Muda sepertinya harus kembali. Sudah terlalu lama Tuan Muda bermain air," ucap Bibi Aya sembari membantu Halilintar bangkit dari duduknya.

Baru saja Halilintar bersenang-senang, ucapan Bibi Aya memudarkan senyumnya. Tidak apa-apa, Hali. Kau bisa bersenang-senang lain kali. "Ya, setidaknya."

Bibi Aya kembali menggantungkan kantong infus pada tiang. Kemudian mendorongnya perlahan seiring dengan langkah kaki yang diambil tuan mudanya.

"Maaf harus mengganggu kesenangan Tuan Muda," ujar Bibi Aya tak enak hati.

Halilintar tertawa kecil mendengarnya. "Aku tahu Bibi tidak bermaksud begitu."

Lagipula, keadaan Halilintar tidak memungkinkan untuk bermain air lebih lama. Bisa-bisa masa penyembuhannya akan memakan banyak waktu.

"Bibi harap Tuan Muda selalu bahagia dimana pun dan kapan pun juga." Suara Bibi Aya terdengar lirih dan penuh makna. Seakan-akan wanita itu baru saja berdoa agar tidak terjadi kejadian serupa.

Halilintar menatap dalam-dalam mata Bibi Aya. Mungkinkah wanita ini tahu apa yang terjadi kemarin? Atau malah satu penghuni rumah mengetahuinya?

Kepala yang lebih muda menggeleng. Tak mau mengingat bagaimana kasarnya sang ayah memperlakukan dirinya kemarin.

"Hali?"

Satu panggilan membuyarkan lamunan Halilintar. Iris ruby miliknya menangkap sosok Thunder yang berdiri di anak tangga paling atas.

"Darimana, hem?" tanya dokter muda itu sambil berjalan mendekati sang keponakan.

"Hanya melihat-lihat isi rumah," jawab Hali jujur. Ia tidak mungkin bisa berbohong di hadapan pamannya.

Thunder memakai jas putih kebanggaannya, dan semua pergerakannya tak terlepas dari pandangan Halilintar.

"Paman akan pergi?"

Tangan Thunder dengan cekatan merapikan pakaian, lalu mengacak-acak rambut hitam milik keponakannya. "Paman harus kembali ke rumah sakit. Ada seseorang yang membutuhkan bantuan Paman."

Halilintar diam tak menanggapi. Thunder sadar jika keponakan kesayangannya itu tidak ingin ditinggal. Namun, mau bagaimana lagi?

Tidak mungkin 'kan kalau seorang dokter membiarkan orang lain kesakitan tanpa mau melakukan apapun. Huh, Thunder bukan orang yang lepas tanggung jawab begitu saja.

Thunder menghembuskan napas panjang. Waktu yang ia miliki sedikit, dirinya tak bisa berlama-lama di sini. Apalagi jarak rumah Amato yang sangat jauh dari pemukiman menambah bebannya.

Tangan Thunder menangkup wajah Halilintar, membuat remaja itu menatapnya. "Ada satu fakta yang haru kau ketahui, Hali."

"Apa?"

Dokter muda itu mendekat, kemudian berbisik, "Seorang dokter tidak boleh meninggalkan pasiennya, kecuali pasien itu sudah sembuh."

Mata Hali berbinar ketika mendengarnya. "Aku belum sembuh, jadi Paman akan kembali?"

Thunder tersenyum dan mengangguk. Beruntung Hali langsung mengerti maksudnya, Thunder tak perlu repot-repot memberi penjelasan lagi.

"Tuan Muda jangan sedih lagi, ya. Ada Bibi yang akan menemani Tuan Muda selagi menunggu dokter," ujar Bibi Aya yang ssejak tadi hanya diam menyimak.

Senyuman diberikan sebagai respon, dan itu menarik atensi Thunder yang hampir terbuai olehnya. Sejujurnya, senyuman Halilintar begitu menenangkan bagi Thunder. Namun entah kenapa Halilintar jarang menunjukkannya.

Menenangkan tapi juga menyakitkan.

Thunder ingin selalu melihat Halilintar tersenyum, namun secara bersamaan, rasa bersalah akan menyelimuti dadanya. Sebab senyuman Halilintar sama seperti....

"Bukankah Paman harus berangkat sekarang?" tanya Halilintar membuat dokter muda itu sadar dari lamunannya.

"Ah, benar juga." Thunder melirik arlojinya, masih ada dua puluh menit lagi. Semoga saja dirinya tepat waktu. "Paman pergi dulu."

"Oh, satu lagi." Thunder memutar badan. "Kau tidak perlu takut untuk keluar kamar lagi, Paman sudah berbicara dengan ayahmu."

Thunder melanjutkan langkahnya tanpa melihat reaksi yang diberikan Hali. Dokter muda itu mungkin berpikir bahwa keponakannya merasa sangat senang, justru Halilintar memberikan reaksi sebaliknya.

Sampai Amato turun dari lantai atas dan menatap datar dirinya. "Tetap di tempatmu!"

"Ayo, Tuan Muda." Bibi Aya membimbing, membawa Halilintar ke kamarnya sebelum terjadi pertengkaran lagi. Hawa tak mengenakan mendominasi sejak Amato datang, nada bicaranya yang dingin seolah membekukan tubuh Halilintar.

Amato, ayahnya yang biasa bersiap lembut dan juga hangat kepadanya kini telah berubah. Jujur, Halilintar sangat takut sekarang. Menghadapi sang ayah yang sedang marah lebih menakutkan daripada menghadapi sifat overprotektifnya.

↠━━━━ღ ◆ ღ━━━━↞

Amato bukannya minta maaf malah lanjut part dua.

TBC^⁠_⁠^

Jeruji HaliWo Geschichten leben. Entdecke jetzt