03| Rasa Penasaran

314 53 14
                                    

"Hahhh... Membosankan."

Halilintar bergulir kesana-kemari, mencari tempat yang nyaman untuk tubuhnya. Kasur empuk ini sudah lama ia gunakan, bahkan terkadang Amato juga ikut tidur di kasur berwarna putih itu. Tapi kenapa kali ini Halilintar merasa sangat tidak nyaman. Tubuhnya pegal semua. Apa karena dia terlalu lama merebahkan diri?

Halilintar memilih untuk keluar dari kamar ketika dirasa sudah tidak tahan untuk berbaring. Berjalan menuruni tangga dengan pelan. Rumahnya terlihat sepi, ayahnya belum pulang dan beberapa pelayan sudah meninggalkan pekerjaan dikarenakan Amato tidak mengizinkan para pelayan untuk menetap dirumahnya.

Ia menatap pada tiga wanita yang menghampirinya dan membungkukkan badan, pamit undur diri. Halilintar menatap jam dinding yang menunjukkan pukul empat sore. Ah, pantas saja rumah sudah sepi seperti ini.

Artinya Halilintar benar-benar sendirian, meski masih ada beberapa penjaga yang menjaga pintu diberbagai ruang. Halilintar merasa seperti buronan yang harus dijaga supaya tidak kabur.

"Bi Aya akan pulang sekarang?" tanya Halilintar begitu melihat wanita yang telah merawatnya datang mendekat. Lalu tangannya meletakkan secangkir minuman hangat.

"Mungkin sebentar lagi, Bibi tidak mungkin meninggalkan Tuan Muda sendirian." Bi Aya memandang anak majikannya yang mulai menyeruput teh hangat buatannya.

"Bibi bisa pulang sekarang jika Bibi mau. Tidak apa-apa, Hali tidak sendiri, kok. Masih ada pekerja yang lain."

Toh, dirinya sudah terbiasa sendiri. Dan Halilintar tidak mau egois dengan menahan sang bibi untuk tetap tinggal padahal jam kerja sudah selesai. Ia masih ingat jika Bi Aya juga masih memiliki suami dan anak yang harus diurus.

Tidak apa-apa, Halilintar bisa menunggu sang ayah yang mungkin akan pulang sebentar lagi. Ini sudah sore, tinggal tunggu beberapa menit hingga suara mobil yang ditumpangi sang ayah terparkir.

Bibi Aya sendiri sebenarnya ingin pulang, akan tetapi dirinya tidak tega meninggalkan anak dari majikannya sendirian di rumah sebesar ini. Namun, melihat adanya sorot keyakinan dari netra ruby milik tuan mudanya membuat Bibi Aya menghela. Sepertinya ia tak perlu secemas itu.

"Baiklah, Bibi pamit pulang dulu, ya." Finalnya membungkukkan badan, mengambil tas lantas keluar dari rumah besar itu.

Halilintar kembali melirik jam, sudah setengah lima sore tapi tidak ada tanda-tanda kepulangan sang ayah. Apa ayahnya lembur hari ini? Jika iya, maka Halilintar akan benar-benar sendirian. Lalu dirinya tak dapat mendengarkan cerita yang biasa Amato dongengkan padanya.

Matanya menjelajah setiap sudut ruangan. Tidak yang menarik, sih, sebenarnya. Halilintar hanya sedang bosan dan ingin melakukan kegiatan yang sekiranya bisa mengisi waktu kosongnya.

Meski waktu Halilintar selalu kosong.

Ia ingin menyalakan benda persegi panjang itu, apa namanya? Televisi, sepertinya itu nama benda tersebut. Dirinya penasaran apa kegunaan benda itu, sebab selama Halilintar tinggal di rumah ini, Amato tak pernah menggunakannya. Pun dengan Amato yang selalu memperingati dirinya agar tak menyentuh benda-benda itu.

Tapi sekarang ini ayahnya tidak ada di rumah, apakah boleh jika Hali menggunakan televisi sebentar? Sepertinya tidak apa-apa.

"Hali?"

Tangan Halilintar baru saja akan menyentuh tombol yang sejujurnya tidak ia ketahui. Namun, aksinya digagalkan dengan satu suara yang memanggil namanya.

"A-ayah?"

Kepala Halilintar menoleh kaku ketika Amato telah berdiri beberapa meter darinya. Hei, ia bahkan tidak mendengar deru mesin yang dikendarai Amato. Apa rasa penasarannya pada televisi sampai mengalihkan segalanya?

"Apa yang kamu lakukan disitu?" Amato berjalan mendekat membuat Hali dengan susah payah menelan saliva. Berusaha menetralkan keterkejutannya agar sang ayah tak curiga.

"Ah, i-itu Hali... Hali hanya..." Aduh, otaknya mendadak tidak bisa berpikir. Ia harus bagaimana? Aura yang dibawa Amato sangat pekat, dan itu membuat lidah Hali kelu untuk sekedar menjelaskan.

"Hanya?" Amato mengangkat sebelah alisnya, menunggu penjelasan dari sang anak.

Halilintar menarik lengan Amato, memintanya untuk duduk terlebih dahulu di sofa. "Ayah lelah? Ingin Hali buatkan minum?"

Amato mendengkus, anaknya tengah mengalihkan pembicaraan rupanya. Tanpa diberitahu pun Amato sudah mengetahuinya, anak tunggalnya yang memiliki rasa penasaran yang tinggi pasti ingin tahu fungsi benda-benda disekelilingnya.

"Bukankah Ayah meminta mu untuk tetap di kamar  seharian ini?"

Tubuh Halilintar menegang, ia lupa tentang itu. Ayahnya telah berpesan agar tidak meninggalkan kamar, tapi dirinya malah kelayapan tidak jelas.

"Kenapa Hali turun, hm? Ayah bahkan tidak menyuruh." Tangannya menangkup pipi gembil Halilintar dan mengusapnya penuh kasih sayang.

"Hali bosan terus-terusan berbaring, Ayah."

Aish, apa Amato sudah gila? Seharian di kamar tanpa melakukan kegiatan apa-apa itu sangat membosankan bagi Hali. Yang ia lakukan hanya berbaring, guling sana, guling sini sampai membuat tubuhnya pegal sendiri.

"Tetap saja, kamu melanggar perintah Ayah." Terkadang Amato begitu posesif pada anaknya. Bahkan untuk sekedar keluar dari kamar saja Halilintar perlu izin darinya.

Jika tidak, maka Halilintar benar-benar akan terkurung dalam kamar dengan kunci di genggaman sang ayah. Katanya sih hukuman untuk anak nakal.

Halilintar memilih diam dan menunduk. Biarkan saja ayahnya mengomel, karna percuma jika Halilintar menjelaskan jika Amato tak mau mendengar.

"Apa Ayah harus menaruh orang untuk menjaga pintu kamar kamu, Hali," tawar Amato yang tentunya mendapat gelengan kepala dari Hali.

Jika pintu kamarnya dijaga maka kesempatan ia untuk keluar kamar susah. Apa Amato ingin merenggut kebebasannya? Halilintar masih bisa terima jika akses untuk keluar rumah ditutup, tapi tidak sampai seperti itu.

"Jangan...." ujar Halilintar lirih. Ia masih ingin berkeliling meskipun di dalam rumah. Ia juga masih ingin bermain dengan para pelayan disini.

"Kalau begitu, Hali harus janji untuk tidak melanggar perintah Ayah apapun keadaannya." Amato mengacungkan jari kelingkingnya yang langsung ditanggap oleh sang anak.

Menatap dua jari kelingking yang saling bertaut, Amato memunculkan senyum jahilnya. Memandang sang anak yang masih meredupkan binar di kedua matanya. "Tapi perlu hukuman untuk anak nakal agar menepati janjinya."

Halilintar menerjang tubuh Amato, menenggelamkan wajahnya pada dada bidang sang ayah. Sungguh, rasanya Halilintar ingin menangis saja. Sembari merapalkan kata maaf dan takkan mengulangi kesalahan yang sama, dan janji akan jadi anak baik.

Amato memainkan rambut halus itu, sepertinya cukup untuk hari ini. Anaknya mendapatkan pelajaran agar lebih patuh padanya. Sebab Amato tidak suka jika Halilintar menjadi pembangkang.

↠━━━━ღ ◆ ღ━━━━↞

Gak tau mau ngomong apa sama Amato. Dia terlalu keras sama Hali meski kadang baik.

Ya gitulah...

Jeruji HaliHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin