13| Hadiah Untuk Teman

184 43 0
                                    

"Perasaan Bibi saja atau Tuan Muda memang nampak lelah?"

Bibi Aya mulai mengusap lembut rambut remaja yang berada tepat di bawahnya. Tuan Mudanya kini tengah bermanja dengan berbaring meletakkan kepala di pahanya sebagai bantal.

Halilintar hanya bergumam tanpa ada niatan untuk menjawab. Dia terlalu terlena dengan usapan tangan lembut itu.

"Bibi dengar sesuatu dari Pak Han."

"Pak Han?" Kening Halilintar berkerut, remaja itu tak mengerti apa yang didengar oleh wanita ini. Tapi yang pasti, orang yang dipanggil Pak Han telah mengadu sesuatu tentang dirinya pada Bibi Aya. Kali ini, apalagi yang pria tua itu adukan.

Bibi Aya mengangguk meskipun Tuan Mudanya tak melihat karena matanya terpejam. "Pak Han bilang, Tuan Muda tidak tidur belakangan ini. Apa itu benar?"

Selama tiga hari Bibi Aya tidak menemani Halilintar lantaran anaknya yang sedang sakit. Dia melepas pengawasan dan memberikannya pada Pak Han. Dirinya pikir semua berjalan lancar tapi sepertinya tidak.

"Dasar pengadu."

"Jadi itu benar?" Dalam benak, Bibi Aya bertanya-tanya bagaimana mungkin Amato membiarkan anaknya tak tidur semalaman? Selama tiga hari pula.

Halilintar membuka mata menampilkan iris ruby yang nampak sedikit redup. "Pak Han berkata seperti itu? Kapan?"

"Tadi pagi, tepat saat Bibi sampai."

Remaja itu mendengus sebal. "Tidak seharusnya Bibi percaya begitu saja pada Pak Han. Dia itu pembohong besar, Hali sarankan untuk tidak dekat-dekat dengannya."

Bibi Aya menggelengkan kepalanya, terkekeh geli mendengar kebohongan kecil yang diciptakan oleh Halilintar. Dia tahu jika anak laki-laki ini akan menyalahkan orang lain untuk menutupi kebohongannya. Meski pada akhirnya Halilintar akan mengakuinya sendiri.

"Apakah Tuan Muda ingin tidur sebentar?" tawar Bibi Aya mendapat anggukan kepala sebagai jawaban.

Bibi Aya meraih bantal dan sedikit menata tempat tidur dengan cepat begitu melihat Tuan Mudanya mengangguk. Anak laki-laki ini harus mendapatkan istirahat yang cukup, setidaknya tidur siang dapat mengurangi rasa pusing dan lingkaran hitam di bawah matanya.

Halilintar mengubah posisi tidurnya menghadap Bibi Aya, tidak menjadikan paha wanita itu sebagai bantal lagi. Lantas netra ruby itu tertutup, berusaha untuk tertidur sambil menikmati elusan tangan Bibi Aya.

Namun, netranya kembali terbuka. Entah kenapa Halilintar sangat sulit tidur akhir-akhir ini. Biasanya sang ayah akan datang ke kamar tepat pada pukul setengah delapan malam hanya untuk memastikan bahwa dirinya—ah, benar, tidak ada sang ayah yang menemani malamnya.

Ayahnya pergi dengan amarah yang masih meluap dan dia pasti sengaja membiarkan Halilintar merasa kesepian sebagai lampiasan kemarahannya. Pamannya pun sama, tiga hari belum kembali setelah mengucapkan janji yang ternyata juga dibawa pergi. Halilintar bahkan harus mencabut sendiri jarum infusnya dengan sembarang hingga mendapat omelan dari Pak Han sepanjang malam.

Halilintar tak tahu apakah ayah dan juga pamannya telah merancang semua ini atau memang terjadi secara tidak sengaja. Akan tetapi Halilintar yakin jika kedua pria tua itu pergi bersama.

Seketika lamunan Halilintar buyar saat mendengar suara Bibi Aya yang menatapnya dengan cemas. Tsk, dia membuat wanita yang telah berjasa dalam hidupnya khawatir lagi.

"Bagaimana kabar anak Bibi? Apakah sudah sembuh?" tanya Halilintar mengalihkan pembicaraan juga untuk menghilangkan kekhawatiran wanita itu.

"Iya, sudah lebih baik tapi tidak dengan sifat manjanya. Bibi juga heran padahal sebelumnya dia sangat mandiri."

Je hebt het einde van de gepubliceerde delen bereikt.

⏰ Laatst bijgewerkt: Mar 10 ⏰

Voeg dit verhaal toe aan je bibliotheek om op de hoogte gebracht te worden van nieuwe delen!

Jeruji HaliWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu