03. Hai Riby

71.1K 6.3K 37
                                    

Riby menatap dress yang kini dikenakannya, dress yang sempat ia bawa ketika mereka meninggalkan rumah. Sejak orang tuanya bangkrut, ia hampir tidak pernah membeli baju, kecuali baju murah yang dibelinya dipasar.

Ia berharap, kalau nanti mereka bertemu, lelaki itu tidak akan mundur dan membatalkan niatnya, karena jujur saja Riby sedikit tidak percaya diri. Ia tidak punya alat make up yang memadai, ditambah tiga jerawat di keningnya meninggalkan bekas yang tidak enak di lihat. Untungnya rambut sepunggungnya gampang di atur, lumayan mempercantik penampilannya sehingga membuatnya tidak terlalu pusing.

Setelah merasa yakin dengan penampilannya, Riby bergegas menenteng tas murahan yang ia beli lima bulan lalu, bukan karena ingin bergaya, tetapi karena tas yang sebelumnya sudah rusak.

Ia tarik napas panjang dan mengeluarkan dengan pelan dari mulutnya, tidak lupa berdoa dalam hati meminta dilindungi dari kejahatan kalau saja lelaki itu berbuat jahat padanya, tetapi kemudian ia tersadar, Ia meminta kebaikan Tuhan, tapi sebentar lagi ia akan berbuat maksiat.

Drama kehidupan macam apa ini?

***

Pak pelanggan.

Lexus hitam

Riby membaca sekali lagi pesan yang masuk ke ponselnya. Astaga, ia sudah lama tidak memperhatikan jenis mobil, bahkan ia sudah lama tidak merasakan naik mobil selain angkot yang kadang ia naiki kalau ingin ke pasar.

Ia memang menunggu di pinggir jalan yang lumayan jauh dari gang kontrakannya, seperti kata Mitha tadi, bisa saja pelanggannya berinisiatif menjemput. Dan seperti inilah ia sekarang, sedang celingukan mencari mobil hitam seperti pesan lelaki itu.

Matanya dengan teliti membaca nama - nama mobil, tetapi tetap tidak menemukannya. Ia hembuskan napas panjang, ini sudah sepuluh menit berlalu tapi ia belum juga menemukan mobil lelaki itu. Kenapa juga dia tidak dengan segera menampakan dirinya, malah dengan sengaja seperti ini.

Baru saja ia ingin mengirimi pesan, ketika sebuah mobil berwarna hitam metalik perlahan menghampirinya. Riby mengeratkan pegangannya pada tali tas, ketika yakin bahwa mobil ini adalah mobil pelanggannya. Wajahnya terasa kaku, lupa bagaimana cara untuk tersenyum dengan manis, seperti yang diajarkan Mitha tadi pagi padanya.

Matanya tertuju pada kaca mobil samping kemudi yang perlahan diturunkan, sampai kemudian terlihat wajah seorang lelaki yang berada dibalik kemudi yang kini juga tengah menatapnya. Pandangan mereka sempat bertemu beberapa detik, sebelum lelaki tersebut membukakan pintu dari dalam dan meminta Riby untuk masuk.

Riby sempat tertegun beberapa detik, ketika sudah duduk di kursi samping kemudi. Matanya mengerjap beberapa kali dan sesekali mencuri pandang pada lelaki yang kini mulai fokus menyetir. Wajah itu mengingatkannya pada seseorang, yang dulu ikut andil melakukan kesalahan besar dalam hidupnya. Riby menggeleng pelan, menyangkal tentang kemiripan lelaki yang ada di sampingnya ini dengan lelaki yang dulu pernah ada di kehidupannya walaupun hanya sebentar.

Lelaki ini jelas berbeda, tubuhnya walaupun tengah duduk terlihat tinggi tegap dengan proporsi yang mengagumkan, rambutnya terpangkas rapi dengan warna kulit sedikit kecokelatan yang malah membuatnya terlihat sangat manly. Sedangkan lelaki yang dulu pernah mengikat janji dengannya, memiliki tubuh tinggi tergolong kurus dan berambut sedikit gondrong, walaupun Riby akui wajah mereka terlihat sangat mirip. Tapi bukankah beberapa orang di dunia ini memang memiliki  wajah yang sangat mirip?

Riby menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikirannya yang tiba - tiba teringat lelaki itu, lelaki yang awalnya tidak ia kenal dan tanpa disangka menjadi suaminya, karena kesalahan satu malam yang mereka lakukan.

Ia ingin bersuara, karena suasana di dalam mobil yang terasa sunyi, bahkan suara musik pun tidak terdengar. Ingin mempraktekan apa yang tadi diajarkan Mitha padanya. Tetapi yang ia lakukan sekarang hanya membuka dan menutup mulutnya, karena suaranya terasa tersangkut di tenggorokan. Semoga saja, lelaki di sampingnya ini tidak berubah pikiran karena ia yang terdiam seperti patung.

Riby menatap lalu lalang kendaraan dari dalam mobil, yang kini sedang melaju dengan kecepatan sedang. Ia memutuskan untuk diam, seperti lelaki di sampingnya yang dari tadi tidak ikut mengeluarkan suara. Jari jemarinya saling bertaut erat, sedangkan jantungnya bekerja lebih cepat dari biasanya. Siapa yang tidak gugup kalau sebentar lagi ia akan melakukan hal yang tidak - tidak, dengan orang yang baru saja ia temui. Riby bahkan belum tahu nama lelaki yang terlihat fokus menyetir itu.

Biarlah, nanti mereka bisa saling berkenalan. Tetapi kata Mitha, dia kadang lupa bahkan tidak tahu nama pelanggannya. Apakah nanti mereka akan seperti itu?

Mereka memasuki jalan perumahan, yang dari tampilannya saja deretan rumah itu sudah pasti milik orang - orang  yang tidak kesulitan finansial seperti dirinya. Riby hela napasnya, kapan ia akan memiliki rumah yang bisa di tempati olehnya dan adiknya, Arby. Tidak perlu mewah, yang penting nyaman dihuni dan pastinya tidak seperti suasana di kontrakannya yang selalu gaduh dengan tetangga yang selalu bertengkar. Entah sampai kapan ia akan tinggal di kontrakan. Semoga saja tidak menghabiskan waktu seumur hidupnya.

Mobil berhenti di depan sebuah rumah bergaya industrial, tidak terlalu besar tapi terlihat sangat nyaman untuk dihuni. Riby melepaskan seat beltnya ketika melihat lelaki di sampingnya sudah keluar lebih dulu. Ia membuka pintu mobil dengan cepat dan mengejar lelaki yang tanpa basa basi meninggalkannya. Langkahnya sedikit cepat bahkan bisa di katakan berlari, mengejar lelaki berkaki jenjang yang kini sudah membuka pintu rumah dan masuk ke dalamnya tanpa peduli kalau Riby masih berada di luar rumah.

Riby ikut masuk ke dalam rumah walaupun sang pemilik belum mengijinkan, tidak mungkin juga ia akan berdiri semalaman di luar rumah karena tujuannya ikut ke sini bukan untuk menjadi pajangan lelaki itu di halaman rumahnya.

Pandangan Riby yang sedang mengamati sekeliling ruangan terhenti, ketika merasakan tatapan dari lawan jenisnya yang kini sedang duduk di lengan sofa sambil bersedekap. Pandangan mereka sempat bertemu beberapa detik, sampai Riby mengalihkan tatapannya dan memilih untuk menunduk menatap kesepuluh jemarinya yang kini saling bertaut. Ia bukan Mitha yang akan agresif melakukan tugasnya, sepertinya berdiri mematung lebih baik daripada memilih mendekat dan merayu lelaki yang kini masih menatapnya dengan sorot mata tajam.

Tapi bukan hanya itu masalahnya, Riby kembali terbayang wajah mantan suaminya dulu ketika tadi tatapan mereka sempat bertemu. Sangat mirip, walaupun lelaki ini terlihat lebih dewasa dengan aura yang lebih baik. Apakah lelaki ini kembaran mantannya suaminya? Tapi sepertinya tidak mungkin.

Riby meringis ketika kembali memberanikan diri untuk menatap lelaki yang kini masih bersedekap di hadapannya, sampai kapan mereka dengan posisi seperti ini. Terasa melelahkan dengan suasana yang sangat hening dan canggung.

"Ada yang mau kamu tanyain?"

Tautan jemari Riby terlepas, ketika mendengar suara berat dan sedikit serak dari lelaki yang masih bersedekap di hadapannya ini. Riby menahan napasnya, detak jantungnya semakin cepat bertalu. Kalau tadi ia masih belum begitu yakin dengan kemiripan mereka, tapi sekarang ia tidak bisa membantah dengan suara yang ia hapal tanpa perlu melihat siapa pemiliknya.

"Mas!!" Seru Riby dengan suara yang bergetar tanpa berani melanjutkan ucapannya, sedangkan lelaki bertubuh tinggi itu mengangguk anggukan kepalanya dan memilih berdiri dengan benar sambil mengulurkan tangan kanannya ke arah Riby.

"Hai...Riby."


●●●●●●●●●●










Hai Riby (END)Where stories live. Discover now