18. Mahesa dulu

69 17 0
                                    



***

Berkisar satu tahun lebih yang lalu, tepatnya minggu-minggu sebelum pandemik muncul. Terjadi tawuran antar pelajar yang cukup besar di kota Jakarta kala itu. Dua kubu dari beberapa sekolah yang berbeda menyerang satu sama lain.

Terjadi pada dini hari sekitar pukul sebelas malam. Kalau tidak salah, kejadian itu memakan banyak korban.

Mengingat kalau sebagian besar dari mereka masih di bawah umur, hukuman yang diberikan pun tidak terlalu berat, namun tetap sukses semua pelajar ini jera dengan tingkah mereka.

Jalan malam itu, kacau. Pecahan kaca dimana-mana. Mobil dan kendaraan sekitar ringsek akibat amukan masa yang cukup membuat takut penduduk sekitar.

Di sepanjang jalanan darah berceceran kemana-mana, senjata tajam tergeletak berantakan lebih dari dua puluh buah, begitupun para anak pelajar yang sok jagoan ini tergeletak tak berdaya dengan luka bacokan di seluruh tubuh. Sementara kubu pemenang, hanya bersorak, namun itu hanya euforia sesaat, mereka berhamburan berlari terbirit-birit kala mendengar sirine aparat.

Cih. Berani memukul dan membuat keributan. Namun, dengan dengungan sirine saja takut.

Kala itu, Mahesa dan Januari menjadi salah satu personil dari kubu yang sama. Keduanya dan bersama rekan lain yang tertangkap terduduk tak berdaya di kursi hijau kantor kepolisian sekitar.

Segala ungkapan saling menyalahkan menggema seisi ruangan.

Pria paruh baya bertubuh gempal di balik layar komputer itu hanya berdecih pelan, menatap jengkel beberapa siswa pembuat onar ini.

"Gavian enam belas tahun, Mahesa enam belas tahun, Januari tujuh belas tahun, Haidar delapan belas tahun, Agung dua puluh—ANAK MAHASISWA MANA KAMU IKUTAN TAWURAN PELAJAR?"

"Dia masih SMA Pak! Pas SD nya gak naik kelas tiga kali!" Celetuk salah seorang di belakang, yang mengundang gelak tawa semuanya.

Terkecuali Mahesa dan Januari yang menatap malas aparat di hadapannya.

"Buruan Pak! Kita mau diapain nih?!"

"Minimal hukuman mati." Celetuk pria paruh baya itu. Wajah pelajar ini memucat bersamaan. "Hahahahahah bercanda!"

Mahesa berdecih.

"Kalian tuh ya, seakan bangga mengacung-acungkan celurit. Bacok sana sini. Ketika sudah duduk di hadapan bapak, dan tahu hukumannya, langsung menciut. Cih!"

Januari menggebrak meja. Pemuda itu menarik kerah di aparat hingga pria itu terkejut yang dilakukan Januari.

Ada beberapa orang lain yang ikut meredakan keributan disini.

"Berhenti! Tidak cukup tawuran, polisi juga kamu ajak kelahi? Jagoan ya kamu?!" Ungkap seorang polisi wanita yang menghampiri Januari.

"Sudah. Semuanya tenang."

Brak!!

Pintu terbuka kasar, menampakkan seorang pria paruh baya dengan setelan jas kantor menghampiri ruangan ini dengan tergesa.

Para aparat kepolisian serempak membungkuk dan memberi salam. Seolah pria yang baru datang ini disegani. Ia menatap salah satu pelajar disini, lalu mengalihkan pada seorang kepala aparat untuk sekadar berbincang.

Sementara itu, para pelajar disini muak masih dengan wejangan-wejangan yang dilontarkan oleh aparat lainnya.

Tidak cukup apa?

Mereka bosan dan ingin pulang. Terlebih, ingin memulai strategi perang baru lagi.

"Ada Mahesa?"

Semuanya menoleh dan pada Mahesa mengacungkan tangan.

To be mine✔️Where stories live. Discover now