14. Jembatan Penyebrangan dan Halte

75 21 1
                                    


Ditatapnya lembayung senja dari tempat ia berdiri. Di jembatan penyeberangan kota sore ini, Maira memegang pembatas besi sambil menyaksikan bagaimana matahari mulai tenggelam.

Hari akan berganti menjadi malam sebentar lagi, langit oranye akan berubah menggelap, bintang-bintang mulai bermunculan satu persatu.

Embusan napas berat terasa. "Harusnya gue gak boleh terlalu terbawa perasaan."

Suara klakson kendaraan di bawahnya terdengar samar-samar. Angin juga berembus cukup kencang membawa rambut tipis Maira menari terbawa angin.

"Mahesa itu cuman friendly, gak harusnya gue menganggap segala perlakuan cowok itu spesial cuman buat gue." Ujarnya lirih. Ia mengusap tangannya yang kedinginan.

"Kak Naren pasti khawatir gue belum pulang." Maira melirik sekilas ponselnya sudah mati total.

Harusnya ia pulang dua jam yang lalu, tapi karena ada kumpulan eskul, mengharuskan dirinya pulang telat dan ketinggalan bus. Daripada terlalu lama menunggu di halte, karena bus selanjutnya akan datang pukul 18.30. Maira memutuskan untuk mencari angin dari atas sini, jembatan penyeberangan menjadi pilihan yang tepat untuk merenungi nasib perasaannya.

Ia ingat bagaimana tadi kedekatan Mahesa dengan kakak kelas cantiknya itu. Terlebih, ketika dirinya berdiri sesaat motor Mahesa lewat dengan Kathryn di belakangnya.

Suara bisikan terdengar di telinganya kala ia melihat mereka, seolah semua orang menginginkan kalau Mahesa dan Kathryn menjadi kekasih. Ya, Maira juga berpikir begitu, mereka sangat cocok, tapi bagaimana dengan perasaannya sendiri.

"Kak Kathryn baik banget, masa iya gue harus nikung dia sih?"

"Eh emang Mahesa mau dih sama gue?"

Sadarkan Maira saat ini. Ia seperti orang gila saat dirinya bingung.

"Lo ngomong sama siapa?"

Suara menginterupsinya, gadis itu segera menoleh cepat dan mendapati pemuda bertubuh tinggi menatap ke arahnya saat ini.

"Anjir?!" Umpatnya.

Mahesa maju satu langkah. Ia menyentil pelan dahi Maira. "Cewek gak boleh ngomong kasar." Kata Mahesa sambil mengikuti Maira untuk berdiri di sampingnya seraya menatap jalanan kota yang padat.

Maira mencebikkan bibirnya sambil mengusap dahi. "Kenapa lo selalu kagetin gue, lo juga ngapain disini?"

"Gue? Gatau kenapa gue disini?" Tanya Mahesa balik yang membuat Maira memutar bola matanya.

"Cowok aneh!" Ucap Maira. Tapi Maira suka. Di hadapan Mahesa sebisa mungkin ia menunjukkan ekpresi cuek seakan tidak tertarik, padahal aslinya SUKA BANGET.

Cewek emang gitu..

"Lo ngomong sama siapa tadi? Setan?"

Maira menepuk keras bahu si lelaki. "Lo kira gue indigo?"

Mahesa jelas tertawa keras.

"Ngomong sendiri lebih enak, daripada ngomong sama orang yang belum jelas bakal dengerin kita apa enggak."

Mahesa jelas tertegun dengan penuturan gadis ini, ia tatap Maira dari samping. Wajah teduh gadis ini, terlihat indah ketika terkena pantulan cahaya lampu jalanan.

Pandangan Maira tetap menatap ke arah jalanan, seakan tak ada keberanian untuk menoleh ke samping, karena gadis itu tahu, Mahesa kini sedang memandanginya.

Plak!

"Jangan liatin gue, gue gampang baper." Katanya sambil menampar cukup keras pipi Mahesa.

To be mine✔️Where stories live. Discover now