10. Call

99 22 2
                                    



"Lo kenapa ninggalin gue, Sat!" ucap Mahesa disertai umpatan di akhir kalimat.

Arga menoleh dan tertawa pelan. "Kan lagi usaha pendekatan, masa gue ganggu sih?"

"Apaan?!"

"Maira?" Ucap Arga sembari memiringkan senyumnya.

Mahesa semakin membelalakkan matanya. Ia ingin membekap langsung mulut Arga, namun jika melakukan itu Mahesa pasti terlihat sedang tersudutkan.

"Kenapa Maira?" Tanya Mahesa sok polos.

"Lho? Lagi deketin cewek itu kan? Pake duduk di sebelah Maira yang lagi tidur segala, ih manis banget."

"Apa sih, Ga?!"

Arga semakin menertawai temannya ini. "Kentara banget!"

"Yaudah kalau dah tau, tutup mulut lo!"

"Siaaaapp!" Ucap Arga selengehan.

Mahesa semakin dibuat curiga. Masalahnya Arga ini tidak bisa dipercaya. Takut suatu saat nanti, cowok ini menyebarluaskan siapa yang Mahesa sukai, dan membuat Maira tak nyaman.

"Kenapa-kenapa?" Jev baru saja datang menghampiri mereka bersama Seno di belakangnya.

"Si Hesa demen sama Maira anak Mipa dua hahaha!" Celetuk Arga.

"HAHH HESA DEMEN AMA SIAPA?"

"Siapa woy? Cewek yang mana?"

"Potek hati gue!"

"Siapa Hesa? Huhu sedih banget gue."

"Hes? Lo sama siapa? Kak Kathryn?"

"Bukan anjir, Mipa dua? Eh Kak Kathryn juga kelas dua belas Mipa dua!"

"Kok jadi Kathryn sih anjir?!" Tanya Mahesa heran.

Seisi kelas bertanya-tanya tentang siapa yang disukai Mahesa. Kenapa semua peduli akan hal itu, Mahesa malas jadi pusat perhatian.

Bisa dilihatkan? Belum lima menit Arga sudah membongkarnya di hadapan Jev dan seisi kelas, dengan nada tinggi. Walaupun samar terdengar tapi tetap saja!

Jev semakin membelalakkan matanya. "Serius lo? Si Mai—"

"Anjing!" Umpat Mahesa.

"Astagfirullah, Hesa bahasanya kasar!"


***

Ransel hijau mint itu, Maira letakkan di kursi meja belajarnya. Ia langsung berjalan menuju nakas samping ranjang untuk mengisi daya baterai ponselnya yang hampir mati.

Jam menunjukkan pukul tujuh malam, ia baru saja sampai di rumah karena tadi harus kerja kelompok di rumah Chantika—teman sekelompoknya.

Maira terduduk di bibir kasur, menatap pantulan dirinya di kaca panjang lemari di hadapannya. Helaan napas terdengar cukup berat, namun setelahnya terbit senyum simpul seketika. Lipatan kertas di tangannya perlahan ia buka dan ia tempelkan pada jejeran foto polaroid dinding putih kamar.

Ia tak pernah berpikir kalau Mahesa akan melakukan ini. Maira selalu bertanya-tanya, apakah benar Mahesa tertarik padanya, atau hanya canda semata, yang sukses meninggikan harap Maira.

Sudah cukup dengan keraguan itu, Maira merebahkan tubuhnya di atas kasur sambil menatap langit-langit kamar. "Mahesa..." gumamnya, kenapa ia sulit menepis bayang-bayang lelaki itu di dalam ingatannya.

Mahesa sudah menghantui pikirannya. Mengambil separuh hatinya. Dan Maira harap tolong jangan jatuhkan harap Maira.

"Dek?" Naren membuka pintu kamar. "Udah makan?"

Maira mengangguk sebagai jawaban. Kakaknya itu menutup kembali kamar Maira.

Gadis itu memutuskan untuk pergi membersihkan diri sebelum istirahat.

Rutinitas malam ketika tidak ada tugas adalah scroll tiktok sampe lupa waktu, tau-tau udah lewat tengah malam aja.

Hanya itu, kadang kalau malam Maira suka mikir sendiri, coba aja ya dia punya pacar seperti gadis lainnya, pasti kehidupannya tidak semembosankan ini. Jalan-jalan berdua, chatting sekadar menanyakan apa yang dilakukan, telponan—

Drrrrrtttt

Baru saja Maira membuka laptopnya, sebuah panggilan masuk di ponselnya.

Nomor tidak di kenal.

Ia ragu untuk mengangkat, takut seseorang iseng yang telpon.

Panggilan kembali terputus, namun setelah itu nomor itu memanggil lagi.

"H-halo?"

Hanya ada hening di sebrang.

"Kalau gak ngomong, gue matiin!"

***

"Anjir kok gak di angkat!" Pekik Mahesa ketika ia mulai menelpon seseorang yang tak lain adalah gadis yang ia mintai nomornya tadi di sekolah. Siapa lagi kalau bukan Maira.

"Tau gak sih lo, buat ngumpulin keberanian telpon lo tuh lama banget buset. Giliran udah berani, malah gak lo angkat." Mahesa semakin mengomel di depan layar ponselnya.

"Sabar, Hes. Bagian dari perjuangan!"

Mahesa kembali menekan tombol telepon, lalu ia tempelkan benda pipih itu kembali ke telinganya. Padahal ia sudah menyalakan loudspeaker.

Mahesa menggigit bibirnya, detak jantungnya sudah tidak karuan, keringatnya mengalir di pelipis. Lebih menegangkan daripada ujian matematika minat Pak Teguh.

"H-halo?"

Mahesa membelalakkan matanya terkejut, ia menjauhkan ponsel lalu lelaki itu berjingkrak kegirangan di atas kasurnya. "Di angkat!!" Pekiknya tertahan.

"Kalau gak ngomong, gue matiin!" Ancam si pembicara di sebrang.

Mahesa kembali mengambil ponselnya lalu mematikan loudspeaker. "Jangan dong! Ini Mahesa," suara berat Mahesa terdengar hingga sebrang telpon.

Kali ini Mahesa tidak mendengar sahutan setelahnya, hanya hening yang menyelimuti keduanya.

Padahal, disisi lain giliran Maira yang berjingkrak kegirangan, salah tingkah, perasaan senang campur tidak menyangka ia bisa telponan dengan Mas Crush, walaupun konteksnya belum jelas mau apa.

"Maira?" Panggil Mahesa lagi.

"Iya, Hes. Ada perlu apa nelpon malem-malem?" Jawab gadis itu dengan suara yang terdengar menggemaskan bagi Mahesa. Tidak dibuat-buat, namun Mahesa menganggap suara Maira ini sangat lucu. Oke, Mahesa terlalu berlebihan. Dasar bucin.

"Hng—gak ada apa-apa. Gue cuman mau aja."

Kekehan pelan terdengar.

"Maira?"

"Mahesa?"

Keduanya memanggil bersamaan, setelah itu hanya terdengar suara tawa keduanya. Memang aneh kedua remaja ini.

"Kenapa, Ra?"

"Enggak, kalau gak ada kepentingan gue tutup ya,"

"Eh? Ganggu lo?"

"Enggak sih!"

"Besok, berangkat bareng gue. Mau ya?"

Tuuuuutttt

Sambungan telepon terputus.


***

"Kak Naren? WiFi mati?" Teriak Maira.

"Iya! Kayanya Papa lupa bayar."

Maira mencebikkan bibirnya kesal, padahal ia sedang asik telponan kenapa mati disaat yang tidak pas sih? Kuota pun ia belum sempat membeli.

"Tadi Mahesa bilang apa ya?"

Bersambung...

To be mine✔️Where stories live. Discover now