EPILOG

968 74 5
                                    

LIMA BELAS TAHUN KEMUDIAN...

"Angin ... Angkasa ... ayo cepat turun, Nak. Papa sudah menunggu kalian dari tadi," panggil Yvanna, sambil membereskan meja makan yang sudah selesai digunakan untuk sarapan pagi itu.

"Iya, Ma. Sebentar. Angkasa masih rebutan kaus kaki sama Bintang, sementara aku dan Bulan sedang mencoba menjadi wasit," sahut Angin, sangat jujur.

Tatapan Angkasa--saudara kembar Angin--dan Bintang--Kakak laki-laki Bulan--langsung tertuju pada Angin dengan sangat sengit. Bulan--yang tadinya kesal sekali karena harus menunda acara piknik akhir pekan karena Bintang--kini jadi ikut menatap Angin seperti yang dilakukan oleh Angkasa dan Bintang.

"Kak Angin sepertinya rindu sekali ingin duduk di halaman bersama ular putih milik Paman Aris selama dua jam," sinis Bulan--persis seperti Ibunya, Manda.

Angin pun terkekeh pelan sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, usai mendengar apa yang Bulan katakan.

"Bulan ... Adik sepupuku yang cantik jelita. Kamu seharusnya saat ini ada dipihak aku dong, biar Angkasa dan Bintang cepat-cepat berhenti berebut kaus kaki. Kamu enggak mau cepat-cepat pergi piknik?" bisik Angin.

"Bulan lebih ingin melihat kamu duduk di halaman bersama ular putih milik Paman Aris," ujar Bintang, siap ingin menerkam Angin setelah berani mengadu pada Yvanna.

"Eits! Tahan!" seru Angin dengan cepat. "Jangan sampai aku kelepasan, ya. Kedua tanganku masih harus benar-benar dilatih oleh Mamaku. Kalau tidak, aku bisa saja kelepasan ketika sedang bermain dengan kalian dan tidak sengaja mengeluarkan kekuatan. Jadi sebaiknya kalian hati-hati."

"Perasaan kamu terus saja bicara begitu sejak usiamu masih lima tahun. Terus kapan sebenarnya kedua tanganmu itu benar-benar bisa dikendalikan, hah?" tanya Bintang, setengah gemas kepada sepupunya sendiri.

Yvanna tiba di lantai atas dan menatap ke arah kedua putra kembarnya, serta ke arah kedua keponakannya.

"Kedua tangan Angin sudah bisa dikendalikan, kok. Hanya saja, kalian tetap harus berhati-hati ketika bermain dengannya. Bagaimana pun ... saat ini Angin masih seusia kalian dan dia bisa saja melakukan kecerobohan jika bermainnya sudah sangat keterlaluan. Jadi, tidak ada salahnya jika berhati-hati. Apa kalian paham?" tanya Yvanna.

Keempat remaja itu kini tersenyum ke arah Yvanna dengan kompak.

"Paham, Bibi Yvanna," jawab Bintang dan Bulan.

"Paham, Mama," jawab Angin dan Angkasa.

"Oke. Sekarang cepat turun ke bawah. Kita akan pergi piknik dengan yang lainnya," ajak Yvanna.

Keempat remaja itu kini berlari-lari kecil saat menuruni tangga. Mereka segera keluar dari rumah itu dan disambut oleh sepupu-sepupu mereka yang lain, serta para Paman dan Bibi mereka. Ben menatap ke arah Yvanna dan merentangkan tangannya agar Yvanna bisa mendekat untuk memeluknya.

"Anak-anak kembali membuat kamu pusing?" tanya Ben.

"Anak-anak tidak pernah membuatku pusing, Sayang. Mereka adalah anak-anak termanis, terlucu, dan penurut," jawab Yvanna.

"Tolong katakan hal itu kalau kamu sudah mencoba mengurus Langit, Bumi, Awan, Samudera, dan Cakrawala dalam satu rumah seperti yang kami lakukan, Yv!" omel Tika, tampak lebih sengit dari biasanya.

"Itu benar, Yv. Suamiku sampai hampir mengalami kebotakan dini gara-gara ulah Cakrawala setiap detiknya," tambah Nania, sambil menatap gemas ke arah putranya sendiri.

Damar langsung terlihat bercermin pada kaca spion mobil ketika Nania mengatakan bahwa dirinya mengalami kebotakan dini. Manda dan Jojo hanya terkekeh geli saat mendengar semua keluhan dari rumah sebelah.

"Kami berdua jelas tidak akan pernah merasakan stress hanya karena tingkah anak-anak. Di rumah ini ada Yvanna yang selalu begitu sabar menghadapi segalanya, termasuk tingkah Bintang dan Bulan," ujar Jojo, tampak begitu bahagia.

Aris langsung berkacak pinggang saat melihat betapa senangnya Jojo saat itu.

"M-hm ... tentu saja begitu. Lalu pertanyaannya adalah, kenapa kamu masih juga sering terlambat pergi ke Cafe, jika di rumahmu ternyata isinya setenang surga?" sindir Aris.

"Hm ... ocehan Suamiku jelas akan membuatku jauh lebih pusing lagi, daripada ketika aku hanya mengurus tingkah laku Langit dan Bumi," keluh Lili.

"Ma, aku mau main dengan ular putih dulu sebelum pergi," pinta Bumi--putri bungsu Lili dan Aris.

"Tidak, Bumi Sayangku yang manis. Bajumu jelas tidak boleh kotor lagi. Kalau kamu kembali bermain bersama ular putih milik Papamu, maka kita tidak akan pernah jadi pergi piknik," larang Tika. "Sebaiknya kamu bermain saja dengan Bulan atau yang lainnya."

"Itu benar, Adik sepupuku yang cantik. Ayo cepat, Kakak akan antar kamu agar bisa bermain bersama Kak Bulan di mobil," ajak Awan--putra sulung Tika dan Dzian.

"Hei! Kita akan ke rumah Keluarga Harmoko lebih dulu, 'kan? Aku tidak mau mendengar Silvia mengomel hari ini karena kita tidak menjemputnya!" seru Aris, kepada Yvanna dan Jojo.

"Kenapa tidak sekalian jemput Naya dan Reza di rumah Keluarga Harmoko yang ada di Subang? Itu jelas akan jauh lebih menyenangkan, karena kita bisa sekalian menjemput Ibu kita masing-masing yang sudah menginap di sana selama dua minggu terakhir," saran Jojo. "Entah kenapa Ibuku dan Ibumu tidak mau pulang meski kita membujuk mereka mati-matian."

"Mungkin rasanya menyenangkan bagi Ibu dan Bibi Ayuni saat bisa menghabiskan masa tuanya bersama Ibuku. Dan mungkin juga itulah yang akan kita rasakan bersama ketika tua nanti, jadi tidak usah mengeluh," saran Yvanna.

"Mana mungkin kami mengeluh? Ralat ... mana berani kami mengeluh? Apalagi jika itu adalah di depan Silvia," sahut Aris, terdengar setengah frustrasi.

"Sudah, hentikan perdebatan kalian! Ayo berangkat!" ajak Zian.

Yvanna menatap ke arah wajah semua orang dan tersenyum jauh lebih bahagia dari biasanya. Ingatannya masih saja menyimpan memori bahagia selama lima belas tahun terakhir yang ia jalani, sejak terakhir kali menatap wajah Seruni yang tersenyum kepadanya sebelum pergi untuk selamanya. Beberapa bulan setelah Seruni meninggal dunia, Pram juga mengembuskan nafas terakhirnya tanpa membawa beban apa pun. Pram saat itu sudah jauh lebih lega karena tidak ada lagi yang mengancam keselamatan anak, menantu, serta cucu-cucunya. Hal itu membuat Pram pergi dengan sangat mudah dan sama sekali tidak melewati kesakitan yang lama ketika menghadapi sakaratul maut-nya. Lima belas tahun lalu benar-benar menjadi titik awal bagi Keluarga Harmoko dan semua keturunannya, bahkan termasuk diri Yvanna sendiri.

Assalamu'alaikum, Kakek ... Nenek ...

Inilah yang Allah hadiahkan untuk kami, setelah kami memilih untuk memaafkan semua kesalahan Nenek Seruni dan menerimanya sebagai bagian dari keluarga kita. Semua rasa bahagia dan juga ketenangan hidup kami, adalah bukti bahwa Allah selalu meridhai jalan hidup yang kami tempuh. Insya Allah, aku dan yang lainnya akan menjaga agar semua tetap berjalan seperti yang kalian impikan. Doa dari kami akan selalu menyertai kalian. Baik itu untuk Kakek, Nenek, dan juga Nenek Seruni. Kami menyayangi kalian dan Insya Allah anak-anak kami pun juga akan begitu.

Salam sayang dariku,

Yvanna Adriatma,
di usiaku yang ke-45 tahun.

[TAMAT]

Next story...
KONTRAKAN D-13

KONTRAKAN D-13

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
TUMBAL WARASWhere stories live. Discover now