26. Aku Merindukanmu

3K 341 40
                                    

Bab 26 | Aku Merindukanmu

 
 
 

“Kita cuma dijebak. Ternyata papa belum meninggal,” seru Nadia saat kakaknya datang. 

Indra mengangguk di tengah helaan napasnya yang panjang. Ada kelegaan tersendiri mendengar ayahnya masih hidup, tapi ada pula kekhawatiran yang terselip ketika melihat sang adik yang menangis sesenggukan. Belum lagi rasa heran melihat adik iparnya juga ada di lokasi. Kata Nadia, Rama sedang pergi ke luar kota. Indra baru akan membuka mulut untuk bertanya, tapi urung karena ada seorang lelaki gondrong yang diseret keluar dari rumah.

Nadia mengusap pipi lalu melangkah melewati sang suami. Telunjuknya mengacung tegak ke arah orang yang akan merusaknya tadi. “Dia dalangnya. Dia yang udah kirim pesan ke aku kalau papa meninggal, tapi ternyata dia malah mau nodain aku.”

Indra berjongkok di depan si lelaki gondrong yang sepertinya hampir mati lemas. Darah bercucuran memenuhi wajahnya yang tirus. Indra ingat pada lelaki ini. Mereka pernah bertemu dulu saat ia menemui sang ayah untuk menjadi wali nikah Nadia. Lelaki gondrong ini juga pernah menemuinya secara khusus hanya untuk meminta uang. Katanya waktu itu atas suruhan sang papa. Kini Indra merasa menyesal telah memberi uang kepada lelaki itu. Ternyata itu hanyalah penipuan. “Tolong bantu saya membawa orang ini ke kantor polisi,” ucapnya sambil mendongak, menatap pria berjaket hitam yang langsung mengangguk.

Berdiri lagi, Indra lalu beranjak dan menepuk pundak adik iparnya. “Terima kasih.”

Rama menggeleng, Indra tidak perlu berterima kasih seperti itu. Nadia adalah istrinya dan sudah semestinya ia yang menjaga wanita itu. “Aku suaminya Nadia, Kak.”

Jawaban Rama membuat Indra tersenyum kecil. Tidak diberitahu pun dia sudah tahu dengan status tersebut. Indra kemudian melirik adiknya yang masih mengusapi pipi. “Tolong bawa Nadia ke rumah sakit dulu.”

“Nggak perlu,” ucap Nadia menyela ucapan sang kakak. “Aku baik-baik aja. Kakak urus aja cowok brengsek itu. Jangan sampai dia bebas.”

Usai kepergian Indra, Rama bergegas melepaskan jas dan menyampirkannya pada kedua bahu sang istri. Blazer Nadia sudah kotor penuh darah. “Yakin nggak mau ke rumah sakit dulu?” tanyanya tetap masih merasa khawatir meski Nadia sudah mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja.

Nadia bergeming dan hanya menatap Rama saat memakaikan jas untuknya. Tak tahan, Nadia merangsek masuk, melingkarkan kedua tangannya di pinggang Rama, memeluknya kuat-kuat. Buliran air matanya kembali luruh satu-satu. Nadia rindu, sungguh sangat merindukan suaminya ini.

“Udah nggak pa-pa, Nad. Ada aku.” Rama membalas dekapan sang istri seraya mengusap-usap punggungnya dengan lembut.

“Hadeh, gue balik dulu lah.” Seorang pria yang masih tinggal menolak untuk melihat adegan romantis pasangan suami istri itu lebih lama lagi.

Rama terkekeh pelan melihat teman sekaligus karyawannya itu memasang tampang melas yang dibuat-buat. “Makasih, Dhil.”

Fadhil, pria berjaket coklat itu hanya mengangkat tangan kirinya dan tetap berjalan menyusuri halaman.

Beberapa menit Rama tetap membiarkan Nadia memeluk dan dia juga tidak menghentikan usapannya. Sepuluh harinya terasa sangat lama karena tidak mendapat kabar dari istrinya secara langsung. Walaupun orang suruhannya selalu mengirim foto saat Nadia berkegiatan, tapi tetap saja itu terasa sangat kurang. Tidak mendengar suara merdu dan wajah cantik Nadia, Rama benar-benar tersiksa hingga dadanya terasa sangat penuh dan sesak.

Malam ini, sesak di dadanya telah berganti dengan perasaan luar biasa lega saat Nadia menghambur ke pelukannya. Rama bahagia karena kini dia sudah berhasil memiliki hati istrinya sendiri.

Seikat JanjiWhere stories live. Discover now