20. Perubahan

2.8K 414 27
                                    

Bab 20 | Perubahan

 
 
 

Pagi hari ketika Nadia sedang menyeduh kopi, tiba-tiba ada sepasang tangan yang melingkari perutnya. Setelah itu sebuah kecupan hangat mengenai ujung kening sebelah kanan. Wanita yang sudah rapi dengan midi dress berlengan panjang itu refleks memejamkan mata. 

“Pagi.”

Bibir Nadia kelu bahkan hanya untuk membalas kata yang sama. Hingga sepasang tangan yang melingkari perutnya mengendur, tiga detik berikutnya Nadia baru berani membuka mata. Meski agak lega karena Rama sudah menjauh, tapi napasnya masih belum teratur. Jantungnya masih berdebar sangat keras dan pipinya juga terasa panas.

Malu.

Perempuan cantik tersebut masih merasa malu bila mengingat kejadian tadi malam ketika ia meminta duluan. Jika waktu bisa diulang, tentu Nadia akan memilih tidak pulang ke apartemen ini dan sudah pasti peristiwa itu tidak akan terjadi.

Namun, semuanya memang sudah terjadi dan harinya kemarin tak mungkin bisa diulang kembali.

Nadia lalu melirik ke belakang di mana Rama sudah duduk dan mengupas apel. Agak heran karena biasanya pria itu tidak makan buah waktu pagi hari. “Mau minum apa?” Pada akhirnya Nadia membuka suara meski dalam hati merasa miris, kopinya akan berakhir sia-sia. Pagi ini dia tidak sedang ingin meminum kopi.

Sekilas Rama mendongak, lalu melihat cangkir di mesin kopi yang sudah penuh. “Kopi aja. Kan, udah kamu bikin.”

“Serius mau makan buah terus minumnya kopi?” Nadia lalu memindahkan cangkirnya ke hadapan Rama sebelum ikut duduk di kursi sebelah.

“Ini buat kamu.” Rama mendorong piring kecil yang telah penuh dengan irisan buah apel ke depan istrinya. “Hari ini jadwal kamu sarapan buah apel ‘kan?”

Nadia menatap sang suami dan buah apelnya bergantian. Dia tidak pernah mempunyai jadwal rutin untuk mengkonsumsi makanan tertentu. Namun, akhirnya perempuan itu tetap menerima. Sementara Rama mengambil sepotong sandwich tuna yang sudah terhidang di meja.

“Nad, aku besok mau ke Jawa Timur.” Disela mengunyah sandwich-nya, Rama memberitahukan jadwal pekerjaannya esok hari. Sebelumnya jika akan berpergian ke luar kota lelaki itu hanya meninggalkan kertas memo yang ditempelkan di kulkas. Kali ini, mulai sekarang dan seterusnya Rama pikir dia harus mengucapkannya secara langsung.

“Berapa hari?” Usai menelan kunyahan apel, Nadia membalas tanya.

Rama menoleh ke arah sang istri yang tidak menatapnya saat bertanya. “Kayak biasa, dua minggu.” Setelah lelaki itu menjawab, Nadia baru mengangkat wajah. Ada kilatan keterkejutan yang tak bisa ditutupi. “Kamu nggak pa-pa kalau aku tinggal sendiri? Maksudku… kalau ada apa-apa sama papa Irawan, kamu jangan jenguk sendirian. Ajak kak Indra atau mama. Kalau nggak mau ajak mama Asri, kamu bisa ajak mamaku. Mama pasti akan nemenin kamu.”

Nadia menunduk dan meletakkan garpu buahnya di piring. Bicara tentang sang ayah, perempuan tersebut jadi ingat dengan lelaki yang kemarin ia lihat di minimarket. “Aku udah nggak peduli lagi sama papa. Dia udah punya keluarga yang pasti akan merawatnya.”

Menganggukkan kepalanya pelan sebelum menyeruput kopi hitam buatan sang istri. Rasanya tidak terlalu manis dan sangat pas di lidah Rama. Jika kakak pertamanya mencoba, tentu dia juga akan suka. “Jujur, aku nggak suka sama anak tiri papamu,” ucapnya lalu meminum kopinya lagi hingga beberapa teguk. “Dia… agak aneh.”

Bukan agak lagi, melainkan memang aneh, sangat aneh. Batin Nadia menyahuti. Anak tiri papanya itu sepertinya tidak memiliki perasaan. Sudah dibesarkan oleh sang papa, tapi setelah itu malah tidak tahu caranya membalas budi dan malah bersenang-senang sendiri. Tidak punya otak sama sekali. “Aku nanti malem mau nginep di rumah mama.”

Seikat JanjiWhere stories live. Discover now