14. Bahuku Milikmu

2.6K 499 61
                                    

Udah makan siang belum, Bestie?
 
 
 
Ini aku kasih menu pembuka😋
 
 
 
 
 
Etapi pencet bintangnya dulu, yuk, sebelum baca.
Timaaciiii 💋❤
 
 
 

Bab 14 | Bahuku Milikmu
 
 
 
 

Tak berpindah tempat, padahal dalam jarak dua meter ada deretan kursi tunggu yang kosong. Rama tetap berdiri di dekat pintu dengan menyandarkan punggung pada dinding yang dingin. Tetap setia menunggu Nadia. Sudut mata sipitnya melihat ibu berjilbab coklat yang masih tersedu-sedu. Sementara anaknya sudah sibuk bertelepon di ujung lorong.

Sekitar setengah jam lamanya, akhirnya pintu kembali terbuka. Rama mengurai tangan dari depan dada. Saat baru ingin bertanya mengenai keadaan papa mertua, Nadia sudah mengajaknya pulang.

Gerimis kecil tertiup angin malam membasahi jalanan aspal. Mobil berjalan pelan dan hanya ada keheningan di dalamnya. Deru mesinnya yang tenang menambah suasana terasa semakin dingin. Nadia masih diam dengan tatapan kosong menembus jendela yang basah.

Sembari menyetir, sesekali Rama menoleh ke samping kiri. Dia tak bisa menerka tentang apa yang terjadi antara Nadia dan ayahnya di dalam ruang ICU. Dan dia juga tidak berani untuk bertanya lebih dulu. 

Sampai akhirnya mereka tiba di basement apartemen… dan Nadia masih diam membisu.

“Kita udah sampai.” Lirih Rama berkata. Mesin mobil sudah mati. Kuncinya pun sudah Rama cabut dari rumahnya. Namun, Nadia tetap bergeming. “Nad ….”

Helaan napasnya panjang, sarat akan rasa sesak yang memenuhi dada. Nadia lalu mengangguk, kemudian melepaskan sabuk pengaman yang melindungi badannya. Tangannya yang lain kemudian membuka pintu, badannya menyerong, tapi ia tak kunjung keluar dari kendaraan hitam legam milik suaminya itu. Kedua kakinya terasa lemas, sangat lemas macam tak memiliki tenaga untuk bergerak.

“Kamu baik-baik aja?” Rama telah sampai di luar, berdiri menunggu di samping pintu yang berseberangan dengan pintu kemudi.

Nadia mengangguk lagi, pelan, dan saat itu setetes air mata meluncur membasahi pipi. Ia tarik napasnya dalam-dalam lagi. Mengangguk lagi. Begitu berulang kali sampai tangannya mengusap pipinya sendiri, dengan kasar.

Melihat itu membuat Rama yang berdiri di depannya merasa sangat khawatir. Nadia tentu sedang tidak baik-baik saja, tapi pasti bukan hanya karena keadaan ayahnya yang tengah kritis. Pasti ada hal lain yang terjadi. Entah apa.

“Tolong ….”

Rama mengangguk, bahkan agak menunduk supaya bisa melihat bibir Nadia yang berbicara. Suara istrinya itu sangat lirih. Rama takut tak bisa menyimaknya dengan baik.

“Tolong jangan kasih tahu Kak Indra kalau papa sakit.”

Oh, jadi ini alasan Indra tidak ada di rumah sakit tadi. Ternyata kakak iparnya itu tidak tahu. Mungkin Nadia bisa tahu jika ayahnya sakit karena beliau dirawat di tempat yang sama dengan tempat Nadia bekerja.

“Sama mama juga. Mama nggak perlu tahu kalau papa lagi sakit,” imbuh Nadia dengan suara yang masih sama lirihnya.

“Iya,” sahut Rama menyetujui titah sang istri. Meski dalam batinnya mengatakan hal sebaliknya. Menurutnya, Indra harus tahu keadaan ayahnya. Seseorang yang sakit hingga dirawat di ruang ICU, berarti kondisinya sudah parah.

Nadia turun, benar-benar keluar dari mobil. Hidungnya kembang kempis. Pasang matanya sudah berembun. Kentara sekali sedang berusaha menahan tangis.

Tanpa berkata-kata lagi, Rama menutup pintu mobil lalu mengejar sang istri yang berjalan lebih dulu. Hanya butuh tiga langkah, kini Rama sudah berada tepat di belakang punggung Nadia.

Seikat JanjiWhere stories live. Discover now