1. Sebuah Janji

7.9K 805 31
                                    

Bab 1 | Sebuah Janji

“Aku ingin bicara.” Ucapan Nadia menghentikan langkah seorang lelaki yang baru akan kembali melangkah, usai melepaskan sepatu di depan pintu masuk apartemen. “Ini penting… tentang hubungan kita,” lanjut Nadia lagi setelah sejenak menjeda di tengah kalimat.

Ada helaan napas berat dari Rama, suami sah Nadia selama satu setengah tahun ini. Pria itu lalu duduk di sebuah kursi yang mengitari meja makan berbentuk persegi panjang, tepat di depan Nadia yang sepertinya telah menunggunya sejak tadi. Rama kemudian menarik ujung lengan kemeja hitamnya agar bisa melihat jarum pendek di pergelangan tangan yang menunjuk angka delapan. Tumben sekali istrinya masih ada di luar. Biasanya jika Rama pulang, Nadia sudah mendekam di kamar.

“Mari kita akhiri kekonyolan ini,” tutur Nadia lirih, tenang, tegas. Seperti… dia memang telah mempersiapkan dari jauh-jauh hari untuk mengatakannya. “Aku rasa kita tidak perlu membuang-buang waktu lebih lama lagi.”

Rama menatap mata bulat Nadia tanpa berkedip. Sementara yang ditatap pun tidak berniat mengalihkan pandangan. Satu setengah tahun telah mereka lewati dalam status pernikahan. Namun, sebelumnya tidak pernah ada kontak mata sedekat ini. Pernikahan mereka memang hanya formalitas. Hanya untuk membuat hati kakek-kakek mereka senang dan bahagia karena keinginan mereka untuk menjadi besan akhirnya terwujud setelah sekian lama. “Apa karena kakekmu sudah tidak ada?”

Terkesiap, tapi kemudian Nadia berusaha kembali tenang. Ternyata Rama mengetahui alasannya meminta pisah. Kakeknya memang sudah meninggal sekitar satu bulan yang lalu. Nadia bukan tidak menghormati mendiang kakeknya atau ingin mempermainkan pernikahan, tapi dia benar-benar sudah merasa muak dengan kehidupannya yang seperti ini. Baginya, selain membuang-buang waktu, pernikahan juga sarat akan kemunafikan. Selama ini Nadia harus bersikap baik-baik saja dan harus terlihat bahagia ketika di depan orang lain. Padahal hatinya tidak menginginkan semua ini terjadi.

Bila ditanya tentang impian apa yang ingin Nadia capai, mungkin menikah adalah hal terakhir yang akan ia lakukan selama sisa hidupnya di dunia ini.

“Aku tahu sejak awal kamu memang hanya memikirkan kakekmu saja. Kamu tidak pernah memikirkan kakekku yang sama bahagianya setelah kita menikah.”

Tangan Nadia yang berada di pangkuan, mengepal keras. “Aku menghormati beliau ….”

“Tapi kamu tidak menyayanginya seperti aku menyayangi kakekmu,” sela Rama dengan cepat hingga membuat Nadia kembali terdiam. “Pikirkan, misalnya… saat itu aku menolak perjodohan ini. Apakah kakekmu bisa sebahagia itu di akhir hidupnya? Apa kalian yang ditinggalkan bisa melanjutkan hidup dengan tenang tanpa merasa bersalah sedikitpun?”

“Apa sebenarnya maksudmu?” Intonasi suara Nadia agak meninggi setelah mendengar rentetan kata dari sang suami. Dia tidak suka dan sedikit tersinggung karena sialnya ucapan Rama tidak ada yang salah satu kata pun. 

Kakeknya yang sudah sakit-sakitan memintanya menikah dengan cucu sahabatnya. Permintaan terakhir yang benar-benar bisa membuatnya bahagia. Terbukti, kesehatan beliau meningkat drastis, senyumnya juga lebih cerah. Meskipun pada akhirnya penyakit yang diderita beliau semakin ganas, tapi setidaknya sang kakek tampak bahagia di akhir hidupnya.

Persis seperti apa yang dikatakan oleh Rama tadi, bila lelaki tersebut menolak perjodohan, bisa saja akhir hidup sang kakek tidak akan bahagia.

Rama menghela napas panjang lalu menautkan kedua telapak tangannya di atas meja. Badannya agak condong ke depan hingga posisinya makin dekat dengan sang istri. “Lakukan sebaik apa yang kulakukan selama ini. Aku tidak mungkin menghadiahkan sebuah perceraian saat ulang tahun kakekku nanti.” Menatap mata Nadia dengan lekat, Rama sebenarnya memang setengah memohon. Dia tidak ingin melihat kakeknya bersedih di hari ulang tahunnya. “Bertahanlah tiga bulan lagi… setelah itu lakukan apapun sesukamu.”

Seikat JanjiWhere stories live. Discover now