6. Ternyata

2.7K 480 114
                                    

Bab 6 | Ternyata

Kruk… kruk ….

Dari balik kacamata bening yang membingkai kedua mata, Rama melirik arloji yang ada di tangan kirinya. Dia lalu mendesah pelan. Baru pukul setengah sepuluh, tapi perutnya sudah mengirimkan sinyal kelaparan dan otaknya langsung menerima sinyal-sinyal itu dengan baik. Rama melirik lagi kantung bekalnya yang tersimpan rapi di ujung meja. Kenapa benda itu jadi tampak sangat menarik di matanya sekarang?

Rama menggeleng pelan dan mencoba kembali fokus pada layar komputer yang tengah menampilkan laporan keuangan perusahaan. Namun, baru membaca kolom teratas, mata sipitnya lagi-lagi malah melihat kantung bekal berwarna biru tua tersebut. Perutnya berbunyi lagi dan tangannya juga reflek mengusapnya. Lelaki itu menjadi bimbang, haruskah ia membukanya sekarang agar rasa penasarannya hilang dan supaya dia bisa kembali bekerja dengan tenang?

_____

“Tumben bawa makanan sendiri.”

Nadia yang berpapasan dengan sang ibunda di depan meja resepsionis hanya bisa tersenyum manis. “Lagi pengen masak aja.” Perempuan itu memamerkan tas bekalnya yang berukuran sedang. “Aku juga bawa buat mama.”

Ibunya Nadia yang bernama Asri itu balas tersenyum, kemudian mereka berjalan bersisian. “Terima kasih, tapi mama nanti ada janji mau makan siang di luar.”

“Sama siapa?” tanya Nadia penasaran, dia sampai berhenti melangkahkan kakinya. Tidak biasanya beliau akan makan diluar tanpa mengajaknya ikut serta.

“Sama kakakmu.”

Senyum di bibir Nadia seketika surut. “Kok aku nggak diajak? Tahu begitu aku nggak bawa makanan ini.” Nadia tentu tidak ingin melewatkan acara makan siang bersama itu. Sekarang sangat jarang sekali mereka bisa berkumpul bertiga. Kakaknya sangat sibuk.

“Pasienmu kemarin banyak yang balik. Mereka bikin janji ulang hari ini. Kamu jangan kemana-mana,” sahut ibu Asri sambil menepuk pelan pundak Nadia. “Gimana kemarin? Ibu mertuamu nyalahin kamu?”

Nadia melihat ke arah kanan dan kirinya dimana ada beberapa pegawai yang berlalu lalang. Dia mengangguk kecil seraya tersenyum manis ketika ada yang mengucap selamat pagi. “Bicara di dalem aja, yuk, Ma,” ajaknya lalu melanjutkan langkah menuju ruangan kerjanya. Jadwal prakteknya masih sekitar tiga puluh menit lagi. Hari ini Nadia memang tidak ada jadwal di rumah sakit, jadi dia langsung pergi ke klinik ibunya.

Ibu Asri duduk di sebuah sofa. Pasang matanya terus mengamati anak perempuannya yang sedang menyimpan tas dan juga kotak bekalnya tadi. Beliau lalu menepuk sisi kosong di sampingnya kala Nadia telah selesai menaruh semua barang bawaannya.

“Mama pasti nggak percaya, Mama Dina ternyata nggak marah sama aku.”

“Serius?”

Nadia mengangguk yakin. Sebab kemarin sungguh-sungguh tidak ada sedikitpun kemarahan dari ibu mertuanya. Tidak seperti dugaannya kemarin lusa. Yang Nadia lihat, ibu Dina malah marah kepada anaknya sendiri setelah tahu jika Rama akan memakan sambel teri.

“Terus buat apa ibu mertuamu bikin status kayak begitu?”

Kali ini Nadia hanya mengedikkan bahunya. “Cuma mau nyindir aku, mungkin.”

Desisan pelan keluar dari mulut ibu Asri sebelum menyentil dahi si anak bungsu. “Itu tandanya kamu harus lebih perhatian sama suamimu.”

“Udah… udah aku bikinin sarapan tadi.” Kedua tangan Nadia bersedekap dan menggeleng pelan. Bisa-bisanya dia melakukan hal itu tadi. Dia bahkan juga menyiapkan bekal untuk Rama. Dalam perjalanannya kemari tadi, sambil menyetir mobil, pikiran Nadia mengawang jauh. Apa Rama nanti akan memakan bekal buatannya? Atau malah membuangnya karena sudah ada perempuan lain yang setiap hari menyiapkan makan siang untuknya?

Seikat JanjiNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ