17. Janji Lain

2.2K 432 46
                                    

Bab 17 | Janji Lain



"Masih ada pasien?" tanya Nadia saat jam di dinding ruang kerjanya menunjuk angka dua belas lebih tiga puluh lima menit. Sudah terlewat jauh dari waktu sholat dhuhur.

"Tidak ada, Dok," jawab seorang perawat yang menjadi asistennya tersebut. "Dokter Nadia mau dibelikan makan siang sekalian?"

Nadia menggeleng saat mencuci tangan. "Saya mau ke mushola dulu. Kamu duluan aja," ucapnya sambil tersenyum. Kemudian wanita tersebut mengambil mukenanya dari lemari yang berada di sudut ruang.

Usai menjalankan ibadah wajibnya, seperti biasa, Nadia memilih duduk untuk beberapa saat. Ia menoleh ke arah kiri dimana ada seorang perempuan yang tengah membaca Al'Quran. Meski agak lirih, tapi suaranya terdengar sangat merdu dan menenangkan.

Menit demi menit telah berlalu dan Nadia masih betah berdiam diri di tempat. Dalam hati ingin sekali mendekat dan berkenalan, siapa tahu nanti dia bisa belajar mengaji dari perempuan tersebut. Sebelumnya Nadia belum pernah melihat perempuan itu. Mungkinkah dia adalah dokter atau perawat baru di rumah sakit ini?

Tetap menyimak sampai perempuan bersuara merdu itu selesai mengaji. Untuk beberapa saat Nadia masih bimbang, sebelum akhirnya berdiri setelah yakin akan niatnya tadi. Kesempatan tidak datang dua kali. Siapa tahu besok-besok Nadia tidak bertemu dengan perempuan itu lagi. Namun, ketika dokter spesialis kulit dan kelamin itu baru ingin melangkah, perempuan tersebut ternyata telah keluar dari mushola.

Nadia hanya bisa mengembuskan napasnya dengan pelan. Dia kecewa pada dirinya sendiri karena tidak membuat keputusan dengan cepat. Sekarang dia hanya bisa berharap semoga besok bisa bertemu dengan perempuan itu lagi.

Terkadang Nadia merasa menyesal karena dulu telah menghabiskan waktunya hanya untuk belajar ilmu kedokteran. Selama ini dia hanya sebatas tahu tentang huruf-huruf arab. Nadia bisa membaca Al'Quran, tapi tidak sebagus dan semerdu perempuan tadi. Dan sekarang dia merasa merugi telah menyia-nyiakan waktunya yang cukup banyak. Dia tak yakin apabila melaksanakan ibadah wajib saja bisa menyelamatkannya kelak.

Rasa lapar yang sejak tadi ditahan kini malah membuat perutnya melilit. Pagi tadi dia hanya minum secangkir kopi dan makan sepotong roti berselai coklat, buatan Rama, karena Nadia terlambat bangun. Saat ia keluar dari kamar ternyata Rama sudah berkutat di dapur dengan setelan kerjanya yang rapi.

Keluar dari mushola, Nadia berniat ingin kembali ke ruang kerja untuk mengambil tas. Setelah itu dia akan langsung mencari makan siang dan pergi ke klinik. Meski hari ini dia tidak ada jadwal, tapi lebih baik dia ke sana lagi daripada harus pulang ke apartemen.

Seperti kemarin, dia berencana akan pulang setelah maghrib dan langsung menyiapkan makan malam, lalu meninggalkan Rama menyantapnya sendiri. Dengan begitu dia tidak perlu berbagi meja dengan sang suami.

Nadia baru menekan tombol lift yang akan membawanya naik ke lantai ruang kerjanya berada, tapi matanya tak sengaja menangkap sosok pria yang memakai setelan kerja yang cukup familiar. Nadia menajamkan mata demi memastikan bahwa tebakannya tidak salah.

"Ngapain dia di sini?" Nadia bertanya-tanya dalam hati sambil merapikan anak rambut yang hampir menutupi mata. Sang suami, tidak, teman barunya berada di area tempatnya bekerja. Apa Rama kemari untuk menjenguk papanya lagi? Tapi, mengapa pria itu terus berjalan ke bagian belakang rumah sakit? Pria tua itu dirawat di lantai lima, bukan di sana.

Penasaran, Nadia melupakan rasa lapar di perut dan mengikuti Rama. Tangannya merogoh saku celana lalu mengambil masker untuk menutupi hidung dan mulut. Tak lupa dia juga melepaskan ikat rambut agar Rama tidak mengenalinya. Tas mukena masih terhimpit di ketiak seolah benda itu tidak mengganggu langkah kakinya yang mendadak harus menjadi seorang penguntit. Semakin dekat jaraknya dengan sang teman baru, Nadia baru bisa melihat bahwa Rama tidak berjalan seorang diri. Ada seorang perempuan berjilbab lebar yang laki-laki itu ikuti. Rama masuk ke sebuah ruang rawat kelas tiga ketika perempuan itu mempersilakan.

Seikat JanjiDove le storie prendono vita. Scoprilo ora