14. Orientasi Dedikasi Afeksi

18 6 41
                                    

“Dyviel gila,” umpat Dawn yang terengah-engah berlari mengikuti burung hantu putih yang tadinya terbang melesat tepat menaungi mereka—namun ketika memasuki hutan, ia terbang jauh memimpin di depan seolah melesat menyamai elang, terlampau gesit mel...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Dyviel gila,” umpat Dawn yang terengah-engah berlari mengikuti burung hantu putih yang tadinya terbang melesat tepat menaungi mereka—namun ketika memasuki hutan, ia terbang jauh memimpin di depan seolah melesat menyamai elang, terlampau gesit meliuk-liuk di antara jajaran pepohonan pinus. “Entah bagaimana master melatihnya, burung itu dibesarkan menjadi pemburu bayangan yang kerap mengintai berkamuflase di antara pekatnya gelap malam.” Keluhnya mengusap peluh.

Mylo menepuk-nepuk bahu Dawn, menyemangati. “Berhati-hatilah, Dawn. Perhatikan langkahmu!” Peringat pemuda itu mengingatkan. Jangan sampai karena pandangan mereka hanya tertuju menengadah mengikuti ke Dyviel, langkah mereka justru tersandung akar mencuat, salah-salah menapaki jalanan terjal malah terjatuh berujung terperosok, kemudian cedera. Sang senior menoleh ke belakang, sesekali membenarkan ranselnya. “Sebentar lagi kita akan sampai, pangeran. Sudah mulai terlihat gumpalan asap menghitam yang membumbung mengudara dari sini. Aku tidak mengira akan berdampak separah itu, dengan kondisi iklim udara yang bertiup kencang seperti sekarang—bukan hal mustahil kebakaran itu tidak dengan cepat menyebar menghanguskan rumah-rumah tetangga.”

Eirene mengangguk, tak tertarik berkomentar lantaran pikirannya seramai perayaan festival. Kekhawatirannya hanya tertuju pada seseorang yang dia harap baik-baik saja di sana. Emosi yang—tidak asing. Pemuda itu pernah ketakutan setengah mati seperti sekarang, kali ini dia tidak ingin firasat negatifnya kembali terwujud.

Dia—bukan lagi seorang bocah yang menangis histeris begitu terbangun dari mimpi buruk akan sosok gadis kecil yang berada dalam bahaya, kemudian terpukul ketika tahu itu bukan sekadar mimpi—melainkan tragedi yang benar-benar terjadi menimpa—Dey, malam itu.

Sepanjang perjalanannya mengelana bentang jenggala, potongan-potongan kilas memori yang tereka melalui mimpinya malam itu—mulai kembali tersusun. Eirene ingat, kala itu Sang Kakak Elaine yang membawanya berkuda lantaran nekat ikut para prajurit kerajaan yang dikirim untuk evakuasi. Mental bocah itu terguncang begitu sampai tepat di halaman pelataran paviliun yang hangus terbakar dan masih berusaha dipadamkan para prajurit.

Perasaan yang tadinya harap-harap cemas berujung lemas menyinggahi tenda yang dibangun petugas medis untuk—menangani jasad kedua wizard yang ditemukan telah terbujur kaku tak tertolong. Kian berkecamuk lantaran sosok yang dia cari tak ditemukan, malah dinyatakan meninggal hangus terbakar di dalam paviliun hingga tidak menyisakan jasad untuk dikuburkan, selain menyatu bersama abu kelabu.

Tidak akan terjadi hal buruk padamu kan, Ka?” risaunya, menepis jauh-jauh prasangka yang berusaha ia gantikan dengan pemikiran positif yang dilandasi rasa percaya bahwa master itu—mampu mengatasinya.

“Astaga, t-tsunami!” seru Dawn memekik, bahkan ia sempat memundurkan langkah begitu mereka sampai di perbatasan hutan dengan Desa Cyrillus dan disambut dengan pemandangan gelombang air yang meninggi—menaungi sebagian perumahan kompleks yang terbakar hebat.

Heir Of FireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang