11. Amnesia

9 5 2
                                    

“Tinggi juga ternyata,” gumam seorang pemuda, menengadah—menatap balkon minimalis jendela kamar seseorang yang tertutup rapat, sembari mengalkulasikan jarak yang harus dia panjat untuk sampai ke sana setelah lima belas menit mengendap-endap mengit...

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

“Tinggi juga ternyata,” gumam seorang pemuda, menengadah—menatap balkon minimalis jendela kamar seseorang yang tertutup rapat, sembari mengalkulasikan jarak yang harus dia panjat untuk sampai ke sana setelah lima belas menit mengendap-endap mengitari seluk-beluk paviliun master dan senior yang letaknya di bagian tenggara di antara kawasan Air Signs dan Water Signs. Ia perlu mengingat-ingat sembari mengira-ngira target ruangan yang ia tuju.

Argh, akan jadi masalah kalau sampai ketahuan; mereka semua—pasti sedang berkumpul di dalam.

Berandalan nekat dan dakar yang didukung oleh keberuntungannya yang terlampau mujur, ia mulai memanjat pohon besar menjulang yang bisa dengan mudah dipanjat untuk sampai ke sana jalur ilegal. Ia menghela napas lega begitu kedua kakinya berhasil berpijak di atas teras balkon minimalis, lalu menyelinap jendela yang bahkan tidak dikunci dari dalam itu.

Akan tetapi, bagai di luar dugaan—napasnya tercekat sewaktu menapaki sebuah kamar yang—gelap nan suram, pekat khas hawa mencekam. “Demi apa pun, kamar jenazah saja tidak semengerikan ini. Entah bagaimana orang misterius itu betah-betah saja bersemayam dalam ruang lingkup yang bahkan tidak menawarkan secercah semangat hidup.” Rutuknya dalam hati. Ia hanya menemukan setitik cahaya dari sebuah lilin yang lantas padam begitu sumbunya terbakar habis menyisakan cairan benih meleleh yang lambat laut akan mengeras kembali.

Pemuda itu teramat berhati-hati dan waspada, berusaha tidak menimbulkan suara sepelan apa pun. Dia bahkan membungkam mulutnya sendiri begitu tidak sengaja menginjakkan gulungan perban-perban yang dipenuhi bercak darah—berserakan di tepi pembaringan si pemilik kamar. Kalau saja orang asing yang masuk, dia yakin orang itu akan langsung kabur karena berpikir salah memasuki kamar yang seorang pembunuh.

Samar-samar terdengar derap langkah kaki seseorang yang berjalan kian mendekat. Bunyi gemerencik kunci dari pintu yang hendak dibuka dari luar itu sontak membuatnya panik kalang kabut. Tak ia temukan tempat persembunyian lain selain berdiri di balik pintu yang detik itu juga terbuka, dimasuki oleh seorang gadis yang membawa nampan makanan, lalu dirinya letakkan nampan itu di nakas yang kosong.

Dia harap-harap cemas seiring degup jantungnya yang berdetak dengan ritme tidak normal, sebab gadis si pemilik kamar tengah berdiri dengan posisi membelakanginya. Siapa yang tidak takut? Cukup lama dia tidak bergerak, alih-alih menoleh. Atau, telah sadarkah dirinya akan keberadaan seorang penyusup?

Master ini psikopat,” bagaimana mungkin dia tidak membatin ketika sang master secara tiba-tiba menjentikkan jari jemarinya—menciptakan api kecil di jari telunjuk sedang lilin yang berada di hadapannya itu tak lagi mampu bersinar?

Butuh riwayat jantung yang sehat jika harus berhadapan dengan sosok yang penuh kejutan seperti Darka. Bagaimana tidak, begitu gadis itu menjentikkan kembali jari jemari tuk memadamkan api yang dirinya ciptakan—dengan gerakan gesit dia menarik belati sewaktu berbalik, sontak mengunci pergerakan sang penyusup yang terkikis ruang dan kian terpojok. Dia hanya butuh kisaran detik tuk mengacungkan senjata tajam tepat ke leher seseorang yang bisa langsung terbunuh di tempat hanya sekali sayat.

Heir Of FireWhere stories live. Discover now