Anin tersenyum puas. "Gitu dong bunda! Sama anak tuh harus ngalah."

"Iya iya." Jihan terkekeh geli.

Sibuk menonton kartun, samar samar Anin mendengar suara ceikikan bocah entah berasal dari arah mana. Rumah sepi seluas ini tidak mungkin kan jadi tempat penampungan makhluk astral? Itu yang ada di bayangannya.

"Bun, Bunda enggak punya anak lagi kan? Enggak adop juga?" tanya Anin.

"Enggak lah, anak Bunda satu satunya kan cuma kamu Nin, gak ada yang lain."

"Tapi kok ada suara---,"

"Onti Nin!" teriak bocil berumur 2 tahun sambil berlari ke arahnya. Langkah kecil itu sangat cepat sampai slayer bat man di lehernya terbang layaknya bat man beneran.

Seketika Anin terkejut dengan kehadiran tuyul satu ini. "Vano! Ya ampun kamu kapan ke sini nya? Kok onti gak tau ya."

"Siang tadi, kamu nya aja yang ngurung diri terus gak keluar keluar kamar," sahut seorang wanita berumur 26 tahun yang bernama Shania, adik dari bundanya. Shania berjalan sambil membawa dot susu dan makanan untuk Vano.

"Sumpah, Tan! Anin gak tau sama sekali."

"Hilih kebiasaan!"

Vano mendekati Anin dan meminta duduk di pangkuannya."Duk duk."

"Sini sini." Anin mengangkat Vano ke pangkuannya. "Gemes banget!"

"Sumpah ya, tante tuh gak nyangka pas Bunda kamu kasih tau ke tante kalo sebentar lagi kamu nikah," ucap Shania.

"Apa sih tan biasa aja kali." Anin mengerucutkan bibirnya. Sesungguhnya belum bisa menerima kenyataan harus nikah secepat ini.

"Seriusan, Nin. Secara kan kamu itu gak pernah pacaran, gak pernah deket sama cowok juga. Eh tiba tiba langsung dapet jodoh aja." beo Shania masih tidak menyangka.

"Bukan tante aja tapi Anin juga kaget banget tiba tiba Ayah sama Bunda jodohin Anin. Udah tahu Anin masih bocil, masih suka nonton kartun, sibuk jajanin oppa oppa korea, malah di suruh jadi istri orang."

"Tapi yang lebih salutnya lagi Erlan mau loh nerima perjodohan nya tanpa bantahan sekalipun." kagum Shania.

"Udah jelas lah, orang Erlan kepengen nikah muda kok," celetuk Jihan menaggapi. "Apalagi calonnya Anin, dia gak akan nolak dong pastinya, Iya gak hm?"

"Apa sih bunda." elak Anin kesal.

Shania dan Jihan tertawa bersama, tak henti hentinya mereka menggoda Anin yang sudah jelas jelas tidak pernah mau kalau membahas perjodohan dengan Erlan. Erlan itu ganteng tapi nakal. Entah orang tuanya melihat dia dari sisi mananya.

"Permisi bu, ini tadi ada abang gofood yang nganterin makanan buat non Anin," ucap bi Narsih menjinjing dua paper bag coklat berukuran sedang.

Lalu Jihan menatap putrinya. "Kamu pesan makanan?"

"Hah? Enggak Bun, perasaan Anin gak pesen makanan hari ini."

"Terus itu dari siapa?"

Anin mengangkat bahunya. "Mana Anin tau Bun, Anin beneran gak pesen apa apa. Handphone Anin aja low bat kok."

"Coba aja bi di cek identitasnya, siapa tau ada nama pengirimnya." usul Shania.

"Tapi disini tertera atas nama------, Erlangga Pradhika bu," ucap bi Narsih setelah mengeceknya.

"Owalah dari calon mantu ternyata."

Anin menurunkan Vano dari pangkuannya dan mengambil paper bag itu dari bi Narsih. "Makasih bi. Anin pikir dari siapa"

"Iya non sama sama, kalau begitu bibi ke belakang dulu ya." pamitnya mendapat anggukan.

"Iya bi."

Anin mengecek isi nya. Terdapat sepucuk kartu ucapan juga makanan dan minuman kesukaannya. "Dari mana kak Erlan tau ini kesukaan Anin?"

"Dari ayah. Semalam Erlan sempat nanya nanya sama ayah Nin, kamu mana tahu." ucap Hendra memasuki rumah, semua atensi mata tertuju pada pria paruh baya yang baru saja pulang dari kantor.

"Dari ayah?" Hendra mengangguk. "Belum nikah aja Erlan udah ada effort buat kamu, gimana kalo sudah nikah?"

"Ih ayah! Tapi kenapa harus di kasih tau sih!" kesalnya.

"Memangnya kenapa? Toh Erlan berhak tau kok apa makanan kesukaan kamu dan apa yang gak kamu suka."

"Tapi ayah, ini ngerepotin banget pastinya. Anin kan kalau soal suka makanan gak cuma satu. Mana ini di kirim semuanya lagi." Anin kebingungan sendiri.

"Tenang Nin. Masih ada tante kok yang bakal ngabisin." Shania ikut mendekat di samping Anin bersiap meminta bagian.

"Ih apaan? Enggak ya! Gak boleh! Cuma Anin doang yang boleh habisin ini." Anin bergeser menyembunyikan makanannya.

"Malu malu tapi mau! Gimana sih kamu." Shania mencubit gemas lengan Anin.

"Dari calon suami gak boleh di tolak kata Bunda tan. Jadi ini punya Anin semua!" Anin pergi ke kamar membawa bingkisan dari Erlan.

"Sejak kapan ya Bunda bilang gitu?" Jihan mengingat ngingat. Anin ini ada ada saja, gengsinya sudah mendarah daging walaupun cuma nerima pemberian orang.

Sementara itu di sisi lain. Erlan terlihat berdiam diri di atas balkon kamar sembari mengisap rokoknya. Tangannya di masukkan ke dalam saku celana dan pandangannya menatap lagi gelap malam.

"Lan." panggil Resha.

"Ini udah malem, kenapa kamu masih di luar?"

"Belum ngantuk."

Resha menghela napas begitu melihat Erlan merokok lagi dan lagi. "Kurang kurangin ngerokoknya, Lan. Itu gak baik buat kamu, Mama juga tau kalo kamu lagi banyak pikiran. Tapi lampiasinnya jangan sama rokok terus."

"Kalo belum habis sebungkus Erlan gak akan berhenti Ma," balas nya dengan membelakangi Resha.

"Tapi Lan---,"

"Jangan khawatirin Erlan Ma. Erlan pasti baik baik aja. Ini cuma pengalihan."

"Yaudah, terserah kamu. Mama cuma ngingetin aja kalo rokok itu gak baik buat kesehatan tubuh."

"Oiya Lan. Dan untuk soal pernikahan kamu sama Anin itu udah di pertimbangkan sama Papa. Jadi gak ada tunda menunda lagi, di hari ke tiga nanti kalian sudah bisa melangsungkan pernikahan," jelas Resha.

"Iya."

Hanya satu kata yang keluar dari mulutnya saat sisa batang rokok di buang sembarangan ke bawah balkon. Erlan mengusap bibir dengan jarinya sambil meringis satu bungkus rokok berhasil habis.

"Kalau gitu Mama ke bawah dulu ya? Kamu jangan lupa istirahat, besok sekolah." pamitnya yang di balas deheman oleh Erlan.

"Anin? Dia udah nerima kiriman dari gue belum ya? Apa dia suka?"

ERLANGGA | ENDWhere stories live. Discover now