delapan belas -scary memory

25 8 0
                                    

Biasanya dalam sehari ada tiga kelas yang melaksanakan mata pembelajaran penjaskes di waktu bersamaan, dan kebetulan kelas Tyas—11 MIPA 3, bebarengan dengan kelas 12 MIPA 1 serta kelas para pentolan berkumpul—12 IPS 4. Begitulah yang didengarnya saat berbaris di lapangan outdoor SMA Merah.

Matahari berada di titik yang ideal karena waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Tidak terlalu panas melainkan hangat.

"Ya, semuanya rentangkan tangan. Kita pemanasan terlebih dahulu,"

Sesuai yang diperintahkan guru olahraga di depan, para murid segera merentangkan kedua tangan dan bergeser ke samping, memperlebar jarak satu sama lain. Tyas menoleh untuk mengukur ujung jarinya agar tidak terlalu jauh dengan ujung jari orang di sebelahnya, tepat ketika orang tersebut balik menoleh padanya.

Alis Tyas resmi terangkat tinggi dengan mata melebar. Tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya saat melihat Rafael lah yang ternyata ada disana.

Laki-laki itu menatap dengan datar. Tyas buru-buru mengalihkan pandang ke depan sebelum menunduk. Tiba-tiba saja dadanya tersengat mengingat pertengkaran mereka kemarin.

"Oke, sudah ya? Kita mulai pemanasan." Si guru penjas mengangkat tangan yang tertaut tinggi-tinggi ke atas kepala sampai berjinjit. Para murid mengikuti. "Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan. Ke samping,"

Tiga puluh dua murid otomatis memanjangkan badan ke samping kanan sampai hitungan ke delapan. Kemudian ke kiri, ke depan, ke belakang. Ganti menyentuhkan kedua telapak tangan ke tanah dengan kaki lurus. Sampai akhirnya melipat satu kaki setinggi pinggul.

"Satu, dua, ayo... kalian pasti bisa. Jangan turun dulu kakinya,"

Ragu-ragu Tyas ikut melakukannya, sebelum urung karena hampir terjatuh. Gadis itu diam-diam merutuk. Sedari dulu gerakan pemanasan inilah yang dibencinya. Sebab, dia tidak mempunyai keseimbangan yang baik.

"Tyas, ayo jangan diem aja. Bapak gak akan berhitung kalau semuanya belum ngelakuin,"

Yang lain mengeluh sewaktu mendengarnya.

Tyas mengembuskan napas. "Iya pak,"

Dengan susah payah tangan Tyas menarik kembali kaki kanannya hingga terlipat setinggi pinggul. Membuat satu kaki lainnya melompat-lompat agar tidak terjatuh.

Bukan hanya Tyas saja tapi sebagian murid perempuan lain juga begitu.

Sontak guru penjas di depan tersenyum simpul. "Bagus, pertahankan."

"Ayo Pak, buruan ngitung!" seru gadis yang berbaris di ujung.

"Satu... dua..."

"Jangan dilambat-lambatin pak!" yang lain ikut berseru.

"Bapak sengaja ya?"

"Tiga...."

"Duh, gusti... nggak kuatttt,"

"Empat... Lima..."

Tyas mulai tidak dapat menahan keseimbangannya. Lompatan satu kakinya semakin bergeser kesana-kemari. Tangan kanannya refleks terentang guna mencari tumpuan.

Gadis itu tidak sadar kalau lompatannya lebih banyak bergeser ke kanan. Hingga akhirnya..

"Enam... Tujuh..."

"PAK!"

Hap!

Tangannya ditangkap seseorang sebelum digenggam erat, dan itu berarti hanya ada satu jawaban. Tyas menoleh secepat kilat sembari menurunkan kakinya sampai berdiri sempurna. Wajahnya berubah pias. Matanya bertemu dengan iris coklat gelap Rafael.

He Is BrokenWhere stories live. Discover now