lima -teman Rafael?

54 12 0
                                    

Tyas membuka kulkas dan melihat-lihat sayuran apa saja yang tersisa. Jemarinya terulur mengambil beberapa kol, wortel, dan juga tomat dari sudut kulkas.

"Yas?"

Gadis itu berdehem sebagai respon. Ditutupnya kulkas sebelum mematri langkah menghampiri ibu yang tengah memotong ayam di konter dapur. Tyas meletakkan sayurannya persis di samping talenan.

Ibu beralih memandang sayuran tersebut. "Anak itu, namanya Rafael, kan?"

Mata Tyas otomatis melebar terkejut. Tapi buru-buru dia mengatur ekspresinya. Kepalanya dianggukan sewaktu ibu menatapnya.

"Kamu tau tentang keluarganya?"

"Tau." Tyas mengatakannya tanpa mau menatap wanita itu. Sayuran diambilnya kembali dan membawanya ke wastafel, memunggungi ibu. Diputarnya kran sampai air mengucur deras. "Rafael udah cerita semuanya."

"Tentang apa? Perceraian orangtuanya?"

Seketika Tyas berbalik. "ibu tau!?"

Saat itu sorot ibu berubah sendu. Tyas tidak mengerti apa maksud dari tatapannya. Sewaktu jemarinya meraih kedua tangan Tyas, Tyas hanya bisa diam sembari balik menatap wanita itu resah.

"Kamu suka sama dia?"

"Enggak."

"Yas." Genggamannya mengerat. "Kamu suka sama Rafael? Jawab dengan jujur."

Tyas menggeleng samar. "Enggak bu. Tyas nggak suka sama Rafael. Kita cuma temen."

Melihat ketegasan di mata putrinya, akhirnya wanita itu bisa bernapas lega. "Syukurlah, kamu nggak suka sama dia." ujarnya sembari mengusap bahu kiri Tyas. "Rafael berbeda dengan kita, Yas."

"Maksud ibu?"

Ibu berkedip menatapnya. "Ibu selalu bertemu nenek Rafael di pasar. Namanya nenek Prameswari. Beliau sering bercerita tentang cucunya yang menjadi korban perceraian anaknya yang egois. Jujur ibu juga kasihan dengernya. Rafael anak yang baik, ibu nggak masalah kamu temenan sama dia. Tapi,"

Mendadak Tyas merasa takut akan kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut wanita itu. Jantungnya sedari tadi sudah berdetak tidak karuan menunggu.

Ibu menyentuh kedua bahunya. "Setiap minggu anak itu selalu menemani neneknya ke gereja, Yas."

Tyas terkesiap.

"Sekarang kamu ngerti kan maksud ibu?"

Tiba-tiba saja air matanya merebak sewaktu bertemu tatap dengan mata ibu. Rasanya seperti ada sesuatu tajam yang menyilet hatinya. Perihnya begitu terasa. Tyas memejamkan mata ditengah anggukannya.

"Aku ke kamar dulu mau ngerjain PR."

Tanpa basa-basi lagi gadis itu berbalik keluar dari dapur. Membawa satu kakinya ke depan kaki lainnya, menaiki tangga. Dia akhirnya memasuki kamar dengan lesu. Didorongnya pintu menggunakan punggung sampai menutup. Untuk sesaat Tyas termenung sembari memandang hoodie hitam laki-laki itu di tepi ranjang, yang sempat dijatuhkannya ke kubangan air.

Setiap minggu anak itu selalu menemani neneknya ke gereja, Yas.

Sebelum akhirnya meluruh ke bawah dengan tatap kosong. Perlahan dia menduduki lantai yang dingin, lututnya tertekuk. Tangannya mengepal di kedua sisi. Sedetik kemudian gadis itu menengadah sembari memejamkan mata kuat, berusaha menahan tangis meski tanpa bisa dicegah akhirnya keluar juga dari sudut matanya, mengalir ke pelipis.

Di tengah gelapnya kamar yang hanya mendapat penerangan dari jendela terbuka itu, Tyas berakhir luluh lantak. Gadis itu tidak tahu harus apa lagi selain menangis tanpa suara.

He Is BrokenWhere stories live. Discover now