enam belas -luka yang membiru

30 8 0
                                    

Kejadian itu tidak mau musnah. Sekeras apapun Tyas berusaha melupakannya, pasti selalu teringat sepersekian sekon kemudian.

Gadis itu mengerang frustasi. Makanan di dalam mulutnya dikunyah cepat sebelum ditelan paksa, sedikit tertahan di tenggorokan. Matanya kian memerah berair. Bunyi gemerisik dedaunan menandakan angin berembus, menerbangkan anak rambutnya, juga menambah sensasi pedih pada mata. Akhirnya, cairan hangat itu jatuh. Tapi bukan ke bekal dipangkuannya melainkan pada telapak tangan seseorang yang terulur di bawah dagunya.

Tyas spontan mendongak dengan pancaran penuh harap sebelum redup dalam sekejap, digantikan lengkungan kecewa.

Wajah sangar namun terlalu tampan untuk seukuran cowok SMA biasa. Rambut di sisi kanan-kiri dipotong habis sebelum diberi poletan dua garis memanjang, menyisakan rambut bagian tengah yang dibiarkan berantakan begitu saja sampai beberapa diantaranya mencuat terbawa angin. Bahkan sebagian menjatuhi kening hingga ujung-ujung helaiannya menyentuh mata.

Sementara yang paling mencuri perhatian adalah tindik kecil di kedua telinga yang kalau diperhatikan baik-baik, sebenarnya hanyalah batang rumput yang dipotong sependek mungkin. Alis kiri terpotong setengah serta cincin besi ganda yang melingkari sepuluh jari.

Yang terakhir, dan sepertinya tidak akan pernah pudar. Lebam-lebam di seluruh wajah atau justru malah robekan berdarah di sudut bibir.

"Nungguin orang lain?"

Itu Yoga, bersama pertanyaan, bukan. Bersama pernyataan telaknya.

Tanpa diminta laki-laki berandal itu beranjak duduk di bangunan semen yang melingkari pohon beringin, tepat di sisi kiri Tyas. Mulutnya tidak mengatakan apa-apa lagi seolah mengerti bahwa Tyas hanya butuh ditemani bukan dinasehati.

Si gadis menurunkan pandang ke bekalnya. Nyaris menertawakan diri sendiri. Apa yang mau diharapkan? Rafael datang dan makan bersamanya disini? Bodoh, laki-laki itu pasti memilih makan bareng Danilla di kantin ketimbang mencoba masakannya yang sedikit keasinan ini.

Tyas menarik napas sambil memejamkan mata sebelum mengembuskannya panjang. Sejurus kemudian membuka mata, otomatis memandang gedung kelas di kejauhan.

"Aneh gak kalo gue ngerasa sedih waktu lihat dia sama yang lain walaupun kita nggak ada hubungan apa-apa?"

"Nggak aneh," Yoga mengedikan bahu. "Bakal lebih aneh lagi kalau lo udah sedeket itu sama Rafael tapi nggak punya rasa sama sekali ke dia."

Tyas refleks menoleh padanya.

"Realistis aja. Kenyataannya cowok sama cewek yang selalu bareng tuh gak mungkin gak punya rasa. Pasti salah satunya ada yang suka." Yoga tiba-tiba balik menoleh, mengunci kontak mata mereka. "Atau bisa aja malah saling suka tapi sama-sama nggak berani ngungkapin. Takut ditolak, apalagi?"

Meski memandang dengan datar, tapi entah imajinasi Tyas atau bagaimana, biru laut itu tampak penuh kasih sayang di dalamnya.

"Tapi kasus lo beda. Lo bukan temen bertahun-tahun Rafael sampe hati dia bisa muncul rasa suka karena terbiasa. Lo juga bukan seseorang yang berjasa dalam hidupnya sampe dia harus balas budi dengan ngebalas perasaan lo seandainya lo emang suka sama dia."

Hening.

Tyas termenung.

Yoga menarik sudut bibir. "Jadi kesimpulannya, Rafael deketin lo murni emang tertarik sama lo. Tanpa karena."

"Tapi gue nggak—"

"Apa salahnya lo mengakui kalo emang lagi cemburu sekarang?"

—nanya soal itu.

He Is BrokenWhere stories live. Discover now