13

11K 1.2K 70
                                    

Tepuk tangannya mana dunk, saiyah bisa update cepet nih wkwkwk....

Ketik langsung publish ya. Pelototin kalau ada typo atau sesuatu yg aneh.

Daann.... Jangan lupa taburkan bintang dan ramaikan ya, friends. Biar makin semangat nulisnya.

###

Setelah memastikan semua kebutuhan Narendra terpenuhi, Kirana pun meninggalkan Narendra di kamarnya seorang diri. Ia terdiam setelah menutup pintu kamar pria itu di belakangnya. Merenung untuk beberapa saat lalu akhirnya benar-benar meninggalkan kamar pria itu menuju dapur untuk menemui Darmi. Namun, saat ia hendak berbelok di ruang keluarga, suara berisik dari ruang tamu mengusiknya. Darmi terdengar berbicara dengan seseorang. Atau mungkin beberapa orang.

Akhirnya Kirana memutuskan melihat siapa yang sedang berbicara dengan asisten rumah tangganya itu. Saat langkahnya tiba di ruang tamu, Darmi tampak mempersilakan tiga orang untuk duduk di sofa tak jauh dari Kirana berdiri. Kirana sudah hendak menyapa, tapi salah satu tamu, seorang wanita baya melihat kedatangannya lalu mendekat, "Wah ini Mbak Kirana, ya. Kapan datang? Saya ndak tahu kalau ada Mbak Kirana." Wanita dengan logat jawa yang kental itu mengulurkan tangan untuk bersalaman yang disambut Kirana dengan senyuman.

"Sudah sekitar satu minggu, Bu. Mari silakan duduk." Kirana mencoba bersikap ramah meskipun tak mengenal wanita di hadapannya itu. Namun, ia yakin tamunya itu adalah warga desa ini dan pasti mereka mengenal Kirana. Seorang pria baya di belakang si wanita juga menghampirinya lalu bersalaman. Menanyakan kabarnya dan tak ketinggalan seorang gadis manis berkerudung merah muda pun mengikuti kedua orang sebelumnya.

Setelah mereka bertiga duduk di sofa, Darmi membuka suara, "Mbak Kirana, ini Pak Cokro. Masih ingat, kan? Beliau sekarang adalah kepala desa kita. Mungkin Mbak masih belum terlalu mengenal beliau dan keluarganya. Dua tahun lalu beliau menjabat sebagai kepala desa." Darmi menjelaskan yang lagi-lagi disambut senyuman oleh Kirana. Setelahnya Darmi membawa bungkusan yang ia pegang ke belakang setelah sebelumnya mengatakan jika benda itu oleh-oleh dari Roisah, istri kepala desa.

"Bapak dan Ibu tidak usah repot-repot. Kalau---"

"Namanya jenguk orang sakit. Kan sudah sepantasnya kalau bawa sesuatu, Mbak. Tidak usah dipikirkan, sebagai sesama warga kita memang harus saling silaturahmi terutama jika ada yang sakit." Kalimat Kirana terpotong oleh istri kepala desa. Kini ia tahu tujuan orang-orang ini ke rumahnya. Narendra, ya pasti semua orang kini sudah tahu jika Narendra baru saja mengalami kecelakaan. Tadi, saat di Puskesmas, sejumlah warga desa juga menjenguknya. Bahkan setelah pulang ke rumah, Narendra tidak bisa segera beristirahat karena ada tamu yang lagi-lagi berkeinginan melihat keadaannya. Begitulah kehidupan di desa. Kekeluargaan mengikat erat satu sama lain apalagi sosok Narendra begitu disegani di desa ini juga di desa-desa lain di sekitar desa mereka.

"Terima kasih banyak, Bu. Maaf jadi merepotkan." Akhirnya Kirana kembali melontarkan kalimatnya yang sempat terpotong. Kirana melirik gadis manis yang sejak tadi hanya menjadi pendengar di antara mereka. Seolah tahu, Roisah melirik gadis yang duduk di sebelahnya lalu berkata, "Oh, iya. Ini anak bungsu saya, Faiza. Dia perawat yang tadi merawat Pak Narendra di Puskesmas. Katanya besok pagi luka-luka Pak Narendra juga akan dicek, kan?"

Kirana tercenung untuk sepersekian detik sebelum kemudian menganggukkan kepala dan melemparkan senyuman, "Iya, Bu. Tadi memang saya meminta salah seorang perawat untuk mengecek kondisi Om Rendra setiap hari, tapi tidak tahu jika perawatnya adalah putri Bapak Kepala Desa." Kirana tak menyadari jika gadis ini adalah gadis yang sama yang telah merawat luka Narendra di Puskesmas siang tadi. Ia sama sekali tak memperhatikan hal itu. Perhatiannya tercurah sepenuhnya untuk Narendra. Tak ada yang mampu mengalihkannya.

"Iya, Mbak. Jadi Faiza ini baru satu tahun ini kerja di Puskesmas. Sebenarnya sih anaknya penginnya tetap di Surabaya. Kebetulan dapat tawaran dari rumah sakit itu lo yang di jalan dokter Moestopo terus di rumah sakit di Gubeng juga. Tapi saya penginnya Faiza pulang kampung saja. Kerja di sini, meskipun dia lulusan kampus negeri terbaik di Surabaya. Nggak apa-apa meskipun cuma kerja di Puskesmas yang penting dekat dari rumah. Bisa ketemu tiap hari dan biar ketemu jodohnya juga dekat. Nggak jauh-jauh. " Wanita baya itu terus berceloteh menceritakan anak bungsunya yang justru terlihat canggung dengan kecerewetan sang ibu. Gadis itu terlihat menganggukkan kepala dengan senyuman tak nyaman pada Kirana yang dibalas Kirana dengan senyuman lebar memaklumi.

Beberapa menit kemudian sang kepala desa akhirnya menghentikan celotehan sang istri. Mungkin pria itu merasa tak nyaman pada Kirana karena istrinya terlalu mendominasi. "Jadi bagaimana dengan kondisi Pak Narendra sekarang, Mbak? Beliau sedang beristirahat, ya?" Pertanyaan itu terucap bertepatan dengan kedatangan Darmi yang membawa nampan berisi teh. Uap masih mengepul pada keempat cangkir yang ia bawa, sepiring pisang goreng yang aromanya begitu menggiurkan juga ikut menemani teh yang tersaji di meja.

Kirana tak lantas menjawab, ia membantu Darmi menyajikan teh terlebih dahulu, setelah mempersilakan tamunya untuk menikmati teh masing-masing, barulah Kirana menanggapi, "Om Rendra kebetulan baru saja bisa beristirahat. Sejak dari Puskesmas banyak tamu yang membesuk." Kirana berharap tamu di depannya akan paham. Yah, meskipun hal itu terdengar tidak sopan.

Pasangan baya itu terlihat mengangguk-anggukkan kepala seolah berpikir. Hal yang sama pun Kirana lakukan. "Atau mungkin saya antar bapak ke kamar Om Rendra saja. Bapak bisa melihat kondisi beliau jika memang ingin tahu."

Kedua pasangan itu saling pandang. Sesaat kemudian si kepala desa mengiyakan. Sekilas pandangan Kirana menangkap Roisah hendak bangkit dari sofa yang ia duduki. Namun, Cokro menggeleng pelan yang kemudian dihadiahi tatapan kecewa istrinya. Kirana tak memedulikannya. Ia bangkit dari kursi lalu mempersilakan Cokro untuk mengikutinya.

Kirana mengetuk pelan pintu kamar Narendra. Dalam hati ia berharap pria itu sudah tertidur dan tak mungkin menerima tamu. Narendra butuh istirahat. Pria itu harus mendapatkan istirahat yang cukup setelah mengalami kecelakaan dan bahkan masih menerima tamu yang menjenguknya sejak tadi siang.

"Mungkin sudah tidur, Pak," bisik Kirana setelah tak mendapat sahutan, Kirana akhirnya meraih gagang pintu lalu mendorongnya perlahan. Pandangannya seketika jatuh pada sosok Narendra yang sepertinya sudah tertidur dengan posisi telentang. Jelas terlihat dari posisi Kirana berdiri. Gadis itu menolehkan kepala pada Cokro di sebelahnya. Mempersilakan pria itu untuk melihat sang paman yang terlihat nyenyak dalam tidurnya.

"Biarkan Pak Rendra istirahat, Mbak. Sampaikan saja salam saya untuk beliau besok," ucap Cokro akhirnya. Ia pun kembali menuju ruang tamu tempat istri dan anaknya berada. Sorot tanya terlihat dari wajah sang istri saat Cokro telah bergabung dengan mereka. Wanita itu terlihat tak sabaran untuk membuka mulut yang entah kenapa sejak tadi selalu Kirana perhatikan. Namun, sang suami seolah tak tahu atau mungkin mengabaikan. Setelah berbasa-basi sambil berbincang mengenai kronologi kecelakaan Narendra tadi siang dan kondisi Narendra, pasangan baya dan putri mereka pun berpamitan pulang.

Kirana mengantar mereka semua sampai teras hingga sosok mereka lenyap dari pandangan setelah memasuki mobil dan berlalu dari halaman luas rumah Kirana. Meninggalkan rasa tak nyaman yang asing di dada Kirana. Namun, ia juga tak tahu rasa seperti apa itu dan apa yang menjadi penyebabnya.

###
17 Januari 2023

Hayoloh..... Bab berikutnya apa yg bakal terjadi? Kita main tebak-tebakan seperti di awal cerita dulu, yuk. Biar rame🤣🤣🤣🤣

Yang mau baca kisahnya Faiza, bisa mampir ke lapak Resolusi Hati, ya.

RiversideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang