2

19.2K 1.9K 82
                                    

Kirana terbangun dengan tubuh segar luar biasa. Tidur singkatnya selepas subuh tadi benar-benar mengembalikan energinya yang terkuras oleh tumpukan pekerjaan yang harus ia selesaikan sebelum ia memutuskan kembali ke tempat ini.

Ya, kemarin adalah hari terakhirnya bekerja. Ia telah mengajukan surat pengunduran diri sebulan sebelumnya demi kembali ke tempat ini. Memulai apapun hal yang tak pernah ia lakukan demi mewujudkan wasiat sang kakek yang menginginkan penerus keluarganya tetap tinggal di kampung halaman dan mengelola usaha keluarga.

Pukul delapan, Kirana melihat ponsel dan menemukan beberapa notifikasi masuk di sana. Gadis itu membuka satu persatu pesan dan membalasnya cepat. Beberapa menit kemudian ia sudah berderap ke kamar mandi. Mandi air hangat sepertinya akan menyempurnakan dirinya untuk mengawali hari sekaligus untuk merilekskan otak yang sejak semalam kebingungan saat nanti harus berhadapan dengan pria itu.

***
"Wah, Mbak Kirana kok sudah bangun? Ini masih pagi, lo." Sapaan Darto terdengar saat ia memasuki dapur restoran. Entah kenapa pria itu selalu ada di mana-mana.

"Pak Darto nginepnya di sini terus, ya? Nggak pulang ke rumah?" Kirana mengabaikan pertanyaan pria itu dan justru bertanya hal lain. Pria itu dulu memang tinggal di rumah Kirana. Rumah yang berjarak tempuh beberapa menit saja dari tempat ini. Bahkan berjalan kaki pun tak akan terasa lelah.

"Kalau saya sih loncat sana sini, Mbak. Di rumah kan sudah ada orang. Lagi pula di rumah tidak ada yang harus dikerjakan. Lebih enak di sini bisa bantu anak-anak." Anak-anak yang pria itu maksud adalah pekerja yang mengurus bungalo dan restoran.

Kirana mengulas senyum lalu mengangguk.

"Mau sarapan apa, Mbak?"

"Saya mau melihat-lihat dulu, Pak. Nanti kalau sudah lapar saya akan ke dapur." Darto pun mengiyakan. "Oh, ya, Pak. Sekalian suruh orang merapikan kamar dan barang-barang saya. Baju-bajunya tolong keluarkan dari koper," lanjut Kirana.

Darto mengernyit sejenak sebelum sebuah pertanyaan terlontar dari mulutnya. "Mbak Kirana mau tinggal di sini terus? Kenapa tidak di rumah saja biar lebih nyaman."

Pertanyaan sulit yang Kirana sendiri nyaris tak bisa menjawab. Bukan tak bisa, lebih tepatnya. Namun, tak berani. Ia tak mungkin tinggal berdua saja dengan pria itu. Yah, meskipun ada beberapa asisten rumah tangga dan pekerja di rumah besar itu. Namun, Kirana merasa hal itu kurang benar.

Lagi pula di sini ia bisa bertemu dengan orang-orang baru. Bisa menyapa pengunjung restoran atau juga penyewa bungalo. Ia tidak akan kesepian.

"Sepi, Pak. Enakan di sini."

Darto mengangguk patuh. Ia paham dengan kegelisahan yang dirasakan majikannya. Pasti peristiwa enam tahun lalu masih membekas dan begitu sulit dilupakan. Peristiwa yang masih menjadi misteri bagi sebagian orang. Namun, dirinya tahu apa yang telah terjadi. Ia berada di tempat itu saat kejadian itu terjadi. Musibah yang tak bisa dikendalikan oleh siapapun. Yang tidak Darto tahu adalah, apa yang melatar belakangi kejadian itu hingga hal mengerikan itu terjadi.

"Saya keliling dulu ya, Pak," pamit Kirana meninggalkan Darto.

Tempat pertama yamg Kirana tuju adalah area restoran. Bangunan induk itu masih sama seperti enam tahun lalu. Bangunan berbentuk pendopo luas dengan meja kursi kayu yang tertata apik. Pemandangan gunung yang kokoh di utara dan selatan area itu terlihat begitu jelas dari dalam restoran yang tak berdinding. Membuat siapa saja pasti akan betah berlama-lama.

Kecipak kolam ikan yang mengelilingi restoran menambah daya tarik tersendiri. Sebuah perahu kecil lengkap dengan dayung diletakkan di pinggir kolam menimbulkan efek layaknya danau yang tenang. Spot yang bisa difungsikan pengunjung sebagai tempat mengambil foto-foto mereka.

Yang berbeda dari tempat itu setelah enam tahun berlalu adalah adanya gazebo yang bertebaran menyesuaikan struktur tanah yang sebelumnya adalah sawah dengan petak bertingkat hingga melewati sungai berbatu yang dialiri air yang begitu jernih.

Kirana menghentikan langkah. Kedua tangannya terentang ke atas, hidungnya menghirup udara segar sebanyak yang ia bisa. Sudah begitu lama ia tak bisa merasakan semua ini. Hiruk pikuk Jakarta membuatnya hanya cukup puas menghirup udara dingin hasil dari pendingin ruangan yang selalu ia rasakan di kantor ataupun di apartemen yang ia sewa selama ini.

Suara tawa yang terdengar dari kejauhan membuat Kirana melangkah lebih jauh. Beberapa penyewa bungalo sepertinya sudah bangun dan menikmati suguhan alam yang memukau sama seperti Kirana. Beberapa orang tampak mengambil foto di taman-taman di sekitar gazebo bahkan ada yang sudah berkecipak dengan dinginnya air di sungai berbatu di bawah sana. Di sisi lain, sekelompok orang yang Kirana yakini adalah satu keluarga sedang bersuka cita ikut memanen sawi dan brokoli di salah satu sisi area persawahan.

Sapaan demi sapaan Kirana dapatkan dari para pekerja yang beberapa di antaranya tak ia kenal. Pasti mereka adalah pekerja baru yang mungkin baru bekerja di tempat ini setelah kepergian Kirana.

Kaki-kaki Kirana pada akhirnya membawanya menuruni setiap jengkal tanah hingga berakhir di sungai. Tawa riang dari pengunjung tempat itu masih sesekali terdengar di telinga Kirana dari kejauhan.

Kirana melepas alas kaki yang di pakainya. Lalu mencoba mencelupkan kaki telanjangnya di jernihnya air di hadapannya. Ia berjengit. Air ini terasa begitu dingin ataukah dirinya yang sudah terbiasa dengan udara panas Jakarta?

Ia akhirnya memutuskan memakai kembali alas kakinya dan hanya duduk di sebuah batu besar di sana. Matanya mengedar dan detik berikutnya ia seperti tersengat sesuatu.

Ya, Tuhan! Kenapa ia bisa sampai di tempat ini? Kirana lagi-lagi mengedarkan pandangan was-was. Bukankah tempat ini adalah tempat yang sama di mana peristiwa mengerikan itu terjadi. Peristiwa yang pada akhirnya membuatnya meninggalkan kota kelahirannya demi mengubur sakit hati juga rasa bersalah yang hingga saat ini masih tak bisa lenyap dari dadanya.

Kirana menggelengkan kepala. Mencoba mengusir bayangan-bayangan mengerikan itu agar enyah dari kepala. Namun, nihil. Ia tak akan bisa. Maka dengan putus asa ia bangkit. Berdiri tegak dari batu besar yang semula didudukinya lalu berbalik berniat meninggalkan tempat itu hanya untuk mendapati sosok yang begitu ia hindari ternyata berdiri tegap di belakangnya. Memandangnya dengan pandangan yang tak bisa Kirana artikan.

Hei, sudah berapa lama pria itu ada di tempat ini? Apakah pria itu mengikutinya?

###

Jadi... Jadi... Jadi... Sudah tau kan siapa si "Pria itu"?

Ada hubungan apa si "pria itu" dengan Kirana?

Yuk tebak lagi. Kan cluenya makin banyak. Kl jawabannya 100% benar lagi, bab berikutnya langsung dipublish 🤣🤣🤣

Bab ini dipublish sesuai janji saya sebelumnya. Ada 2 orang yg bisa nebak meskipun gak 100% benar. Siapakah dia? Biarkan jadi rahasia dulu. Ntar kl makin kebuka bakal tau juga wkwkkwk🤣🤣🤣

Ditulis 2021
Publish, 25 Juli 2022
Repost 11 Februari 2024

RiversideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang