1

25.8K 1.9K 130
                                    

Selamat pagii....

Hari ini mulai repost Riverside, ya. Yg belum baca bisa mampir. Btw, jika tidak ada halangan, Riverside bakal cetak bulan depan. Yg mau pelukin bukunya, jangan lupa nyisihin recehannya, ya.

Happy reading.

###

Kirana merapatkan jaket tebal yang ia pakai saat ia sepenuhnya menginjakkan kaki di tanah kelahirannya yang telah ia tinggalkan enam tahun lalu. Pandangannya mengedar, berkeliling pada tanah lapang berpaving blok renggang yang---sela-selanya ditumbuhi rumput gajah yang nyaris menutupi seluruh permukaan area paving---biasanya digunakan sebagai lahan parkir. Sebuah papan besar berbahan kayu yang dipernis sempurna bertuliskan "Riverside" tampak berdiri kokoh di depannya.

Kirana menarik napas lalu mengembuskannya kuat. Kini saatnya ia menghadapi apapun itu yang telah ia hindari selama enam tahun ini. Butuh keberanian besar saat akhirnya ia mampu berdiri di tempat ini lagi.

"Mbak Kirana! Ini Mbak Kirana, kan?" Suara nyaring bernada terkejut itu seketika mengusik Kirana dari fokusnya. Seorang pria berjaket tebal lengkap dengan mug besar berbahan aluminium di genggaman---yang seketika saja Kirana tahu---berisi kopi akibat aromanya yang menguar saat pria itu mendekatinya.

"Iya, saya. Apa kabar, Pak Darto? Sehat?" Kirana mengulas senyum lalu mengulurkan tangan yang seketika disambut pria di depannya dengan jabat tangan yang begitu erat. Seolah-olah ingin memastikan lebih jelas lagi jika sosok di hadapannya adalah sosok yang telah meninggalkan tempat ini enam tahun yang lalu.

"Alhamdulillah, Mbak. Saya sehat. Mbak Kirana juga begitu kan? Saya sudah mendengar kabar kedatangan Mbak. Tapi tidak tahu jika secepat ini." Pria itu, Darto kembali berucap.

Kirana hanya mengulas senyum. Ternyata kedatangannya sudah didengar oleh orang-orang di tempat ini. Atau mungkin hanya Darto saja?

"Berangkatnya jam berapa, Mbak, kok sampai di sini jam segini?"

Kirana seketika melihat jam di pergelangan tangannya. Pukul tiga dini hari masih lima belas menit lagi. Ia memang sengaja mencari penerbangan terakhir sehingga ia bisa tiba di tempat ini dini hari agar tidak terlalu banyak orang yang mengetahui kedatangannya termasuk pria itu. Tadi, ia bahkan masih berlama-lama di bandara, duduk diam di salah satu kafe sambil menikmati secangkir kopi karena enggan segera tiba di tempat ini. Hal yang sebenarnya sia-sia, sebab beberapa jam kedepan pria itu pasti akan tahu kedatangannya.

"Dapat tiketnya yang malam, Pak," jawab Kirana sedikit berbohong. Ia tak perlu mengatakan alasannya kepada pria yang sudah mengenalnya bahkan sejak dirinya di dalam kandungan itu. "Oh, ya. Kok jam segini Bapak sudah bangun?" lanjut Kirana agar Darto tak terlalu banyak bertanya.

"Wah, Mbak Kirana ini sudah lupa ya. Jam segini kan memang waktunya saya bangun. Terus keliling-keliling melihat keadaan." Tentu Kirana masih ingat dengan kebiasaan pria itu. Hal yang ternyata tak berubah. Pria itu selalu bangun jauh lebih awal demi memastikan semua keadaan di sekitarnya baik-baik saja meskipun ada pekerja yang bertugas menjaga tempat itu.

"Eh, kok malah bapak ngajak ngomong terus. Ayo masuk, barang-barangnya biar saya bawa." Darto sigap berjalan melewati Kirana lalu meraih koper berukuran besar yang telah diturunkan oleh sopir taksi yang mengantarkan Kirana ke tempat itu.

"Kenapa tidak menghubungi saya saja, Mbak. Kan saya bisa jemput di Juanda." Darto mengangkat koper itu dengan tangan kanannya seolah tak merasakan beban berat yang ia bawa. Tangan kirinya masih memegang erat mug kopinya.

"Nanti ngerepotin, Pak," jawab Kirana pelan sambil mengikuti langkah pria baya itu. Pria yang sudah puluhan tahun bekerja di keluarga Kirana. Pria yang bisa menjadi apa saja di rumah Kirana. Sopir, penjaga rumah, pengurus taman, bahkan teman ataupun ayah bagi Kirana. Pria yang sudah Kirana anggap sebagai keluarga.

RiversideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang