7

14.9K 1.6K 36
                                    

Brengsek!

Benar-benar brengsek!

Mereka berdua benar-benar menjijikkan!

Mulut Kirana membuka lalu menutup. Benar-benar tak tahu harus mengatakan apa.

Bagaimana mungkin Narendra dan Karina bisa bersama bahkan sampai berhubungan sejauh itu?

Lagi-lagi Kirana mencoba menebas rasa menyakitkan yang semakin menggerogoti dadanya. Selama empat tahun ini ia memang hidup berjauhan dengan keluarganya. Namun, kenapa kabar ini sama sekali tak pernah ia dengar?

Jika Karina sampai hamil dan harus segera menikah, mungkin hal itu tak terlalu mengejutkan Kirana. Gadis itu tahu ulah sang kakak sejak beranjak remaja. Kakaknya itu begitu sulit dikendalikan oleh sang kakek. Hal yang tentu saja seolah membuat wajah sang kakek dilempar kotoran karena menjadi bahan pembicaraan orang-orang di sekitar mereka.

Apalagi saat gadis itu mulai menempuh pendidikan di perguruan tinggi dan hidup bebas di Surabaya. Tidak ada yang mengawasi dan menjaganya. Baik Kirana, sang kakek, maupun Narendra bahkan pernah memergoki seorang pria yang menginap di rumah kontrakan Karina.

Hal berbeda tentu saja Kirana rasakan pada Narendra. Seumur hidupnya, ia mengenal Narendra sebagai sosok yang begitu santun juga baik. Sosok bijak yang peduli pada orang-orang di sekitarnya dan yang selalu ada kapanpun Kirana butuhkan. Sosok yang kebaikannya lambat laun membuat hati Kirana terikat dan begitu sulit untuk terlepas. Tak mungkin kan pria sebaik itu bisa berbuat begitu bajingan bersama Karina?

Namun, apa yang sang kakek sampaikan baru saja bukanlah sekadar bualan. Apalagi saat Kirana menatap wajah sang paman di sebelahnya. Ekspresi pria itu seolah membenarkan apa yang menjadi dugaan Kirana. Sorot mata pria itu terlihat sendu dan merasa bersalah. Sorot yang seketika saja membuat Kirana muak dan jijik secara bersamaan.

"Kalian benar-benar menjijikkan!" Hanya kalimat itu yang mampu Kirana lontarkan sebelum akhirnya ia keluar kamar sambil meraih barang-barangnya lalu menjejalkannya dalam tas jinjing berukuran besar.

Ia membanting pintu dibelakangnya dengan cukup keras demi meluapkan amarah di dadanya. Pembohong! Semuanya pembohong!

Kakeknya, Narendra, Karina. Semuanya pembohong.

***
Kirana kembali ke indekostnya dengan menggunakan taksi yang untungnya segera ia dapatkan begitu keluar dari area hotel. Letak hotel dan indekostnya memang tidak begitu jauh. Hanya lima menit ia duduk di dalam taksi maka ia sudah sampai di depan pagar indekostnya.

Saat ia turun dari kendaraan itu, seketika saja kekecewaan menyergapnya kembali. Sebuah mobil terlihat berhenti tak jauh dari tempat Kirana berdiri. Rupanya sang paman menyusulnya. Tanpa membuang waktu Kirana segera memasuki halaman indekost dengan terburu. Tidak, ia tidak akan meladeni apapun yang pria itu katakan. Ia tak ingin mendengar apapun penjelasan pria itu.

"Kirana, tunggu. Kita perlu bicara." Suara itu terdengar mengejar sosok Kirana yang tak memedulikannya. Langkah Kirana semakin cepat menuju kamarnya yang terletak di bagian belakang indekost.

Kirana tak berucap apapun, saat langkahnya berhenti di depan pintu kamar, ia segera membuka benda itu menggunakan kunci yang ia bawa.

"Jangan seperti ini, An. Kita harus bicara." Sosok itu, Narendra memegang daun pintu yang akan Kirana tutup.

"Bicara apa lagi, Om. Bukannya Om tidak berkeinginan memberi tahu apapun itu kepadaku? Kalian semua memperlakukanku seolah-olah aku tak ada. Aku bukan siapa-siapa kalian."

"Maafkan aku, An. Tapi perlu kamu tahu, kami tak berniat menyembunyikan hal itu dari kamu." Narendra menyelinap masuk memanfaatkan kelengahan Kirana yang fokus memperhatikan dirinya. Pria itu dengan sigap menutup pintu kamar agar tak ada orang lain yang mendengar percakapan mereka.

RiversideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang