20

10.4K 1.2K 117
                                    

Udah follow akun penulisnya belom? Follow dulu donk kalau emang sayang sama penulisnya, cuma tinggal sentuh doang, kan.

Mulai dari bab ini kita akan maju mundur cantik.... *Eh.

Moga aja teman-teman gak mabok dan bingung.

So, bintangnya manaa.....

Suaranya manaaaa.....

###

"An, aku mohon jangan gegabah mengambil keputusan. Kamu tidak perlu kembali ke Jakarta. Tempat kamu di sini."

"Untuk apa lagi aku harus tetap tinggal di sini? Aku memiliki pekerjaan yang bagus di Jakarta. Orang-orang di sana juga tidak ada satu pun yang membohongiku."

"Hentikan omong kosong kamu! Dari dulu kamu selalu mengatakan membohongi, membohongi, membohongi. Tidak ada yang berniat membohongimu. Lagi pula kenapa kamu begitu keras kepala? Mau aku adik ayah kamu atau bukan semuanya sama saja. Tidak ada yang akan berubah. Apakah hal itu akan berdampak pada sikap kamu? Aku rasa tidak, bukan? Jadilah lebih dewasa. Jangan seperti ini!" Akhirnya Narendra menumpahkan semua yang ia rasakan. Sikap kekanak-kanakan Kirana yang terus menerus mengatakan jika ia merasa dibohongi. Seolah-olah keponakannya itu adalah korban dari keputusan yang telah ia ambil bersama sang kakek dan kakak gadis itu. Ia sudah begitu jengah merasakan sikap Kirana akhir-akhir ini.

"Apa Om bilang? Menjadi dewasa?" Jadi masalahnya karena aku masih belum dewasa makanya kalian menyembunyikan semua kenyataan itu? Juga kebusukan yang telah kamu lakukan dengan Karina."

Narendra memilih bungkam. Enggan membuka mulutnya. Ini akan menjadi perdebatan panjang seperti sebelum-sebelumnya jika ia terus meladeni kemarahan Kirana.

"Begitu besarkah rasa benci kamu kepadaku, An? Tidak bisakah kamu sedikit saja membuka hati kamu untuk memaafkan kami?" Sorot kesakitan terlihat di wajah Narendra. Hal yang tak mungkin Kirana abaikan. Namun, kesakitan pria itu masih belum ada apa-apanya dibanding yang Kirana rasakan.

"Om tidak tahu apa-apa. Tidak tahu apapun." Kirana mengucapkan kalimatnya dengan lirih, mendesis. Namun, begitu tajam menusuk. "Bertahun-tahun aku berada di sisi Om. Menjadi tempat untuk aku bersandar. Menjadi orang pertama yang tahu apapun tentang diriku, tapi ternyata Om tidak merasakan hal yang sama. Apa Om tahu alasanku kuliah jauh dari rumah? Selain karena aku ingin berkuliah di kampus impianku, keinginan terbesar lainnya adalah karena aku ingin menjauh dari kamu!" Kirana mengakhiri kalimatnya dengan jeritan. Membuat Narendra mendekat demi bisa menenangkan gadis itu.

"Jangan! Jangan sentuh aku!" Kirana mundur beberapa langkah. Tangannya mengepal sedangkan telunjuknya mengarah pada wajah muram Narendra.

"Kamu tahu kenapa aku berkeinginan menjauh?" Kirana mulai mengabaikan sopan santun yang selalu ia lakukan kepada pria di depannya itu. Mulutnya tertawa miris. Menertawakan kesialannya yang jatuh cinta pada pria yang salah.

"Karena aku sudah tidak sanggup lagi berada di dekat kamu! Karena aku tidak sanggup lagi melihat kamu sebagai pamanku. Adik dari ayahku."

Untuk sesaat Narendra membeku. Pria itu seolah tak mampu menggerakkan tubuhnya bahkan untuk bersuara. "Sudah, An. Jangan dilanjutkan, kita akan saling menyakiti," bujuk Narendra masih berusaha menggapai Kirana yang tentu saja ditampik gadis itu.

"Sejak aku menginjak remaja, aku tidak bisa lagi melihat kamu sebagai sosok paman. Aku tidak bisa. Yang ada di otakku hanya kamu. Namun, aku sadar posisi kita. Kamu terlarang untukku pun kamu juga tak memiliki perasaan seperti yang aku rasa."

"An..."

Kirana mengulurkan tangan. Meminta pria itu menghentikan ucapannya. Berusaha membuat pria itu tak memotong apapun yang ia katakan.

RiversideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang