18 - Fungsi Turun

Mulai dari awal
                                    

Belum waah
Itu tadi masih ada kayak yel-yel gitu
Terus sama foto foto
Samaaa (TT)

Sudah kuduga (TT)(TT)(TT)
Serius, kayak kita dengan wajah tanpa dosa tiba-tiba lewat di depan polisi tanpa merasa bersalah (TT)(TT)

Aku kira udah pulang
Ngakak plis (TT)(TT)

Iya tauu, aku juga berpikir demikian(TT) ternyataaa
Pas kita lewat tadi lho jadi bahan perhatian(TT)(TT)(TT) pak polisi yang udah berdiri duluan ngeliatin kita aku jadi takut

Heey iya kah??
Pas lewat sebelum gerbang tadi kahh?
Rada ngeri sih emang
Kita di tengah-tengah

Iyaa
Beneran kayak dilihatin
Aku langsung merasakan hawa hawa yang berbeda
Atmosfernya lho serem

Hahaha :D
Emang iya sih
Soalnya kayak tinggi tinggi bangeet

Betull(TT)(TT)
Udah, malu-maluin aja hari ini

Iyaa waah

Tak lagi kubalas pesan dari Arinda. Aku beralih memandangi sebuah kalender yang tergantung di salah satu sisi dinding kamar. Dua puluh satu.  Sudah seminggu aku melaju. Sudah seminggu tak lagi kutemui sosok yang biasanya menyemangati dalam sunyi. Sudah seminggu tak lagi kulihat lukisan angka yang biasa ia sematkan dalam kanvas semesta. 

Aku menghela napas. Dua puluh satu Juni. Artinya, besok aku harus menunjukkan cerpen ciptaanku pada Bu Jasmine.  Karangan sederhana pengabadian sepotong kaset semesta.

Aku bangkit dari ranjang. Mulai kuketikkan huruf demi huruf pada keyboard saat laptop hitam ini menunjukkan pesonanya.
Bagian terpenting kisah ini, segera ditulis.

1110-110-10110

Aku membuka sebuah aplikasi dengan bentuk kotak bernuansa merah. Sebuah unggahan dari sebuah akun resmi menyita perhatianku. Setelah lama di ambang ketidakpastian, unggahan dari Puspresnas membuat jantungku berdetak kencang.
Kuberanikan membuka situs resmi yang tertera memunculkan sebuah tautan mengunduh dokumen. Kutekan lagi dengan jantung yang tidak berhenti berdetak kencang hingga tulisan 'selesai' tertera di layar gawai.

Aku membuka dokumen yang membuat hatiku mencelos. Air mata meluncur bebas dari pelupuk netra. Batinku teriris, bak dihujam ribuan belati. Harapanku luntur, impianku hancur lebur, nasi sudah menjadi bubur.

Rasa nyeri semakin menjadi, dari lima nama yang terpilih mewakili kabupaten, tiga di antaranya adalah sainganku ketika sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama. Aku memang tidak sebanding mereka. Aku hanya seorang manusia yang mencoba meraih cakrawala. Melampaui batas tanpa memikir risiko kandas.

Sekarang semuanya sirna. Sehelai daun terakhir yang mencoba bertahan telah jatuh ke tanah. Tak ada yang tersisa. Aku gagal. Aku lemah. Aku pengecut. Aku telah menghancurkan harapan semua orang. Aku hanya bisa berucap kosong.

Aku tak pernah bisa membuat orang tuaku bahagia. Aku tak bisa membalas pengorbanan Pak Arka yang rela bolak-balik ke sekolah demi mengajarkan ilmu Matematika. Aku tak bisa membuat semua orang bangga. Sejatinya aku hanya sebuah beban, tak pernah bisa menjadi tumpuan.

“Belum ada info KSN kah?”

“Belum, nanti kalau ada aku kabari.”

“Pak Arka nggak bilang apa-apa soal KSN?”

“Nggak, Al.”

“Kok lama ya? Masa tahun ini nggak ada KSN?”

“Nggak mungkinlah, pasti ada cuma terlambat gitu aja.”

NEGASI ( SELESAI )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang