17 - Kalimat Terbuka

Start from the beginning
                                    

Arinda terkekeh kecil. “Bisa aja.”

Aku turut tersenyum. “Tapi beneran, Rin. Kalau mikir masa depan tuh rasanya bikin overthinking.” Kuikat ujung plastik isi molen yang cukup banyak sebelum kumasukkan ke tas. “Apalagi kalau malam hari, udah auto overthinking,” imbuhku.

Arinda mengangguk setuju. “Benar-benar.”

“Kamu abis ini rencana lanjut ke mana, Rin?”

Arinda menggeleng. “Belum tahu. Kita lihat aja nanti,” ujarnya.

“Kenapa nggak ambil jurusan sastra aja? Kamu 'kan ikut teater dari kelas sepuluh.” Aku berucap seraya menatap Arinda.

“Aku cuma bisa acting, nggak bisa nulis cerpen.”

Aku tersenyum. “Aku malah kebalikanmu Rin. Nulis cerita ecek-ecek, tapi nggak bisa acting.”
Arinda terkekeh.

“Ngomong-ngomong selain acting, di ekskul teater ada kegiatan apa aja?”

“Banyak sih. Ada monolog, penyutradaraan, musikalisasi puisi.” Arinda menjawab.

Aku menjadi excited. “Aku baru tau lho kalau ada musikalisasi puisi. Dulu pas kelas sembilan aku pingiiin banget ikut musikalisasi puisi gara-gara lihat perform di SMA Senandika.”

“Ikut aja,” ujar Arinda sembari menatapku.

Aku menggeleng. “Itu udah dulu, sekarang aku mageran.” Aku terkekeh. Arinda turut terkekeh.

“Eh ada lomba puisi lho, kamu nggak minat ikut?” Kutunjukkan layar gawai yang menyala pada Arinda.

Arinda menerima gawaiku. Usai membaca poster lomba, ia menggeleng. “Aku nggak bisa nulis puisi.”

Kuterima gawai dari Arinda. “Kali aja gitu. Temanya lelaki terbaik. Barangkali kamu mau bikin puisi tentang lelaki terbaik versimu,” ujarku.

Arinda menggeleng. “Aku nggak punya lelaki terbaik,” ujar Arinda.

“Apalagi aku,” ujarku terkekeh kecil.

“Abis ini kamu lanjut ke mana?” Arinda balik bertanya.

“Bismillah Pendidikan Matematika Unesa. Aku pingin jadi seperti Bu Natasha,” ujarku penuh harap. Kutatap langit dengan netra berbinar-binar.

“Banyak yang pingin ke Unesa ya.”

Aku mengangguk. “Sebenarnya aku bingung antara Unesa atau UM, soalnya kampus terdekat yang punya jurusan Pendidikan Matematika cuma dua itu.”

Arinda mengangguk. Ia tak berucap apa pun, justru kembali memandangi gawainya.

“Bicara tentang Matematika, aku jadi penasaran siapa guru Matematika kita di kelas dua belas nanti.”

Arinda mendongak. “Aku juga, semoga aja dapat guru yang sabar.” Ia menjeda perkataannya. “Aku nggak begitu kenal guru Matematika sekolah kita.”

Aku mengangguk setuju. “Aku juga sih. Setahuku itu cuma Bu Natasha, Pak Arka, Pak Azriel, Pak Karrel, Bu Marissa, sama Pak Shaka.” Kujeda perkataanku.

“Sebenarnya dari guru-guru yang aku tahu, aku pingin banget belajar dari Pak Arka. Tapi berhubung Pak Arka udah nggak di sini, Bu Natasha aja nggak pa-pa,”sambungku.

“Pak Arka itu kalau ngajar gimana? Aku nggak tahu.”

“Pak Arka kalau jelasin itu detail banget nggak ada satu langkah pun kelewat. Jadi dijamin paham deh. Beliau suka kasih catatan dan latihan soal gitu. Tapi kasih latihan soalnya setelah dijelaskan. Itu pun kita bebas mau maju mengerjakan atau enggak. Tulisan beliau itu rapi banget, walaupun beliau nggak nulis di kertas bergaris tetap aja lurus nggak naik turun gunung kayak tulisanku.” Aku mengambil napas.

“Pas bimbingan kemarin beliau bantu banget. Kayak ... setiap pertanyaan di otakku itu terjawab. Beliau itu enak kalau diajak diskusi, utamanya tentang Matematika. Beliau juga punya channel YouTube. Aku selalu belajar dari situ kalau nggak ngerti materi di kelas. Pokoknya Pak Arka itu bantu banget. Kamu harus subscribe sih. Sebenarnya di kelas dua belas ini aku pingiiin banget belajar Matematika dari Pak Arka. Tapi berhubung beliau udah pindah, ya mau gimana lagi.” Aku berujar melirih. Hingga pertanyaan Arinda membuatku tertegun.

“Kamu kangen Pak Arka?”

111-110-1011

Dua minggu setelah seleksi KSN-K digelar, aku kembali menghadapi Penilaian Akhir Tahun yang hanya tersisa tiga hari. Kondisi kesehatan yang kurang fit tak membuatku gentar bertemu dengan Matematika. Terlebih setelah aku tahu pembuat soal ujian adalah Pak Arka.

Mengenai seleksi dua minggu lalu, Pak Arka datang. Hanya saja ia datang di jam-jam menjelang pulang. Itu yang ia sampaikan di grup perpesanan kami.
Ujian hari ini berlangsung dengan lancar. Dua warna hijau yang kuperoleh layaknya penawar. Aku begitu menikmati ujian Matematika Peminatan hari ini mengingat setiap materi yang keluar sama persis dengan video pembelajaran di kanal YouTube Pak Arka.

Kini aku tengah menunggu ayah—tiba-tiba ke sekolah—berurusan dengan kepala sekolah. Terhitung sudah tiga puluh menit aku berada di bandarsah dengan angin sebagai taulan. Kubuka sebuah aplikasi perpesanan di gawai lantas kugeser ke bagian unggahan cerita. Kudapati nama Pak Arka di baris pertama. Aku terkejut usai melihat unggahan cerita Pak Arka. Rasanya aku tidak bisa menyembunyikan senyum yang merekah mendapati sebuah fakta; Pak Arka membaca puisi yang tempo sasi kukirim untuk diterbitkan di majalah sekolah.

Tak berselang lama, Pak Arka keluar dari bangunan sekolah dan berjalan menuju parkiran guru. Seulas senyum semakin mengembang di wajahku usai kudapati ayah keluar dari bangunan sekolah.  Ini sudah begitu lama sejak kali terakhir ayah ke sekolah untuk urusan pekerjaan. Aku merasa hari ini takdir berpihak padaku; ayah dan Pak Arka sama-sama datang ke sekolah setelah sekian lama.

Aku menghampiri ayah setelah ia berada di depan motor matic bernuansa hitam yang terparkir di pekarangan bandarsah.

“Ayah tadi ketemu Pak Arka, beliau bilang kalau kamu harus bisa jadi juara satu kabupaten.”

Aku terkejut mendengar perkataan ayah. Sepanjang perjalanan pulang kalimat itu terus saja mengalun merdu melintas rungu. Apa aku bisa ...?

•••
Bersambung...

Mojokerto, 02 Januari 2023

Dek Uti.

NEGASI ( SELESAI )Where stories live. Discover now