49. Antara Dua Wanita

78 5 0
                                    

Sepanjang jalan menuju penginapan Mahesa hanya diam. Benar-benar diam hingga membuat Senggani bingung untuk bertanya atau sekadar membuat lelaki itu membuka mulut. Begitu sampai pun, Mahesa langsung masuk dalam kamar dan sama sekali tidak menoleh ke arah Senggani barang sebentar.

Semalaman, Senggani hanya bisa menangis menyesali apa yang sudah terjadi hari ini. Andai saja dia tidak melihat rumah batik dan meminta izin wawancara dengan pemiliknya, mungkin Mahesa tidak akan bertemu dengan Lara sampai detik ini. Semua ini salahnya! Senggani tak henti-hentinya menyalahkan diri sendiri yang malah membuka lebih lebar jarak antara dia dan Mahesa. Dari cara Mahesa menatap Lara, Senggani tahu bahwa lelaki itu masih amat mencintai Lara sepenuh hati dan itu membuatnya sakit, tapi Senggani tetap bertekad untuk memperjuangkan Mahesa walaupun hambatan besar menghadang di depannya sekarang. Senggani tidak ingin usahanya untuk sampai ke sini berakhir sia-sia.

Pagi-pagi benar Senggani sudah bersiap untuk melakukan liputan ke Bukit Love dan juga tracking mangrove yang tertunda kemarin karena Mahesa terlalu sibuk bernostalgia dengan Lara. Begitu keluar kamar, Senggani mendapat pesan dari Mahesa yang memberitahukan bahwa dia tidak bisa ikut meliput dan menyuruh Senggani pergi sendiri. Senggani mencoba mengetuk pintu kamar Mahesa, tapi tak ada juga jawaban dari dalam. Sepertinya Mahesa sudah pergi ke rumah batik itu lagi dan kembali menemui Lara. Benar saja begitu Senggani menyusulnya, si gondrong itu sudah ada di sana dan mengobrol dengan Lara.

"Lho, kamu, kok, ke sini? Kan, saya udah suruh liputan sendiri," sosor Mahesa yang heran melihat Senggani di sana.

"Saya nggak tahu tempatnya!" Senggani langsung menarik kursi dan duduk tanpa dipersilakan. "Lagian tadi Mas Rizal udah email saya nanyain progres liputan dan harus beres secepatnya soalnya deadline-nya dimajuin." Senggani terpaksa berbohong.

"Oh, ya, kok, saya nggak dapat emailnya, ya?" Mahesa mencoba membuka ponsel dan mengecek kotak email.

"Mana saya tahu, pokoknya Mas Rizal bilang gitu. Udah, yuk, sekarang aja! Makin cepat kelar makin bagus," sergah Senggani setengah memaksa.

"Kamu ikut, yuk, Ra!" usul Mahesa yang sama sekali tidak dinginkan Senggani.

Kedua perempuan itu otomatis saling pandang. Ada perasaan tidak nyaman yang Lara rasakan saat itu. "Maaf, Sa, aku nggak bisa. Harus ngawasin pesanan batik. Kasihan Ibu nggak ada yang bantu."

"Kan, ada Wildan yang bantuin Ibu. Lagian aku juga sebenarnya butuh guide lokal yang bisa nganterin ke mana-mana."

"Pakai guide yang kemarin aja, yang nganterin kita ke Menjangan. Itu juga bagus," sela Senggani yang masih tak rela jika Lara ikut serta.

"Tapi kalau sama yang udah kenal akan lebih nyaman. Lagian gratis, kan, Ra, kamu nggak usah dibayar, kan, ya?" Mahesa tetap ngotot mengajak Lara pergi.

"Udah pergi saja, udah lama kamu nggak jalan-jalan. Ajak Wildan sekalian buat nyetir, di sini biar Ibu sendiri aja. Kalian, kan, udah lama nggak ketemu," sorong Bu Fatimah yang menyembul dari dalam.

Merasa ada yang mendukung, Mahesa yakin kali ini Lara tak akan menolak. Perempuan itu akhirnya menyerah dan pamit berganti pakaian. Bu Fatimah menawarkan mobilnya untuk dipakai Mahesa berkeliling beserta Wildan sebagai driver-nya.

"Terima kasih, ya, Bu. Kalau bukan karena Ibu, Lara nggak mungkin mau saya ajak pergi," ucap Mahesa pada Bu Fatimah.

"Iya Ibu paham, kok, Nak. Kalian memang harus punya waktu berdua. Bicara dari hati ke hati, tapi Ibu pesan kamu jangan terlalu menekan Dyah. Biarkan dia bercerita dengan sendirinya."

"Iya, Bu, kemarin saya masih sulit mengontrol emosi. Saya janji nggak akan memaksa dia lagi."


***

A Love to Him (Revisi)Where stories live. Discover now