25. Drama Pinggir Jalan

70 4 0
                                    

Cuaca yang terik dan udara Jakarta yang panas menyengat tidak menyurutkan semangat para pejuang ini. Satu per satu pengguna jalan maupun pengendara disapa dan tidak sedikit juga dari mereka yang mengeluarkan sampahnya. Ada yang berupa tisu bekas pakai, bungkusan permen atau cokelat, sampai botol plastik bekas minuman. Tak sedikit juga dari mereka yang bertanya kenapa mereka diberi bibit tanaman lidah mertua? Dan panitia memberi penjelasan mengenai kegunaan tanaman yang mungkin belum banyak orang tahu.

Begitu pun dengan Senggani. Saat lampu merah di perempatan jalan menyala, tanpa ragu satu per satu kaca mobil diketuknya dan dengan sopan Senggani bertanya apakah terdapat sampah di dalam mobil atau tidak.

"Selamat Pagi, Bu, maaf mengganggu. Kami sedang mengadakan aksi pengumpulan sampah, barangkali Ibu punya sampah atau barang yang sudah akan dibuang di dalam mobil? Jika ada silakan bisa Ibu titipkan kepada saya," tuturnya sopan dan ramah.

"Oh, ada sebentar, ya." Si Ibu yang terlihat seperti kaum sosialita itu memasukkan sebuah kotak tisu yang sudah habis isinya ke dalam kantong plastik yang Senggani bawa.

"Adik dari komunitas apa, ya? Terus dalam rangka apa kumpul-kumpulin sampah begini, panas-panas lagi? Apa nggak capek?" tanya si ibu ramah sambil membuka kacamata hitam merek Channel itu.

"Dari Dharmapala, Bu. Kebetulan hari ini peringatan Hari Bumi Sedunia. Kami mengajak masyarakat untuk lebih peduli dengan Bumi dan lingkungan kita. Salah satu cara dengan membuang sampah pada tempatnya agar lingkungan kita jadi lebih nyaman dan bersih."

"Oh, begitu ... jadi hari ini Hari Bumi Sedunia, ya? Makasih, ya, atas infonya." Ibu sosialita itu tersenyum dan memakai kacamata mewahnya lagi.

"Oh ya, Bu, ini mohon diterima sebagai ucapan terima kasih kami karena Ibu sudah membuang sampah pada tempatnya. Ditanam di rumah, ya, Bu. Tanaman ini bisa membersihkan udara di sekitar rumah."

"Oh ya. Terima kasih, ya, Dik."

"Sama-sama, Bu. Hati-hati di perjalanannya semoga selamat sampai tujuan."

Mereka beranjak lagi mencari sasaran berikutnya, tapi dari tadi Senggani melihat Mahesa seperti sedang menahan tawa.

"Kenapa senyum-senyum?"

"Lucu aja, kamu tadi seperti sales obat."

"Ih, jahat! Masa saya dibilang sales obat, sih." Senggani memukul manja lengan Mahesa sambil tersenyum-senyum sendiri.

Reaksi yang mereka terima dari para pengguna jalan macam-macam. Ada yang dengan senang hati menitipkan sampahnya, ada juga yang malah menyepelekan aksi ini. Dibilangnya percuma saja diadakan gerakan pengumpulan sampah begini karena yang seharusnya mereka kumpulkan itu sampah-sampah yang sudah memenuhi Sungai Ciliwung dan sungai-sungai lain di ibu kota yang menjadi sebab utama terjadinya banjir di Jakarta. Bukan malah repot-repot mengumpulkan sampah-sampah kecil seperti ini. Tak berguna.

"Kalau mau ngumpulin sampah di Ciliwung, tuh, banyak tahu!" begitu dia bilang.

Senggani sedikit terpancing emosi mendengar kata-kata tak sopan yang dilontarkan seorang bapak pengendara sepeda motor. Nyaris dia melabrak dan menceramahi bapak itu habis-habisan kalau tidak segera dicegah oleh Mahesa.

"Udah, nggak usah dilayani. Kita cari yang lain aja." Mahesa yang kedua tangan masih sibuk membawa kardus besar bibit tanaman membujuk Senggani agar dia tidak memperpanjang urusan dengan manusia tak berakal dan tak berhati seperti itu.

"Harusnya itu orang kita kasih pelajaran, Sa. Biar tahu rasa! Nggak nonton drama teatrikal tadi, sih, dia, jadi bebal, deh, otaknya." Sepanjang trotoar Senggani bersungut-sungut.

"Udahlah orang-orang seperti itu akan percuma aja kita kasih tahu, nggak akan sampai ke hati dan pikiran mereka. Daripada buang-buang tenaga meladeni orang antipati begitu lebih baik kita fokus saja ke orang-orang yang masih punya jiwa empati."

A Love to Him (Revisi)Where stories live. Discover now