30. Being Restless

54 3 0
                                    


Tak henti-henti Senggani menatapi jari manisnya dengan bingung dan kaget. Sejak kapan cincin berlian itu tersemat di jarinya? Dan memang kapan dia menyetujui dan menerima lamaran Hendra? Seingatnya, dia belum memberikan jawaban apa-apa pada laki-laki itu. Dia hanya menangis sampai seluruh tubuhnya berguncang, lalu tangan Hendra merengkuh dan menempatkan Senggani di pelukan terhangatnya.

Kalau dipeluk Hendra dia ingat, tapi kalau dipasangi cincin Senggani malah sama sekali tidak ingat. Apa karena seluruh pikirannya terlempar pada sosok Mahesa sampai-sampai dia lupa momen saat dia mengatakan 'iya' lalu Hendra memasangkan cincin itu di jari manisnya? Atau jangan-jangan saat dia menangis dengan tubuh yang berguncang itu membuat kepalanya juga ikut terguncang naik turun hingga menyerupai sebuah anggukan yang membuat Hendra salah mengerti? Oh My God ....

Senggani membantingkan tubuh di ranjang. Menatap langit-langit kamar hotel yang berwarna putih. Dia belum menyetujui lamaran ini, tapi cincin berlian sudah terpasang di jari manisnya. Bagaimana ini? Apa dia kembalikan saja cincinnya pada Hendra dan mengatakan kalau laki-laki itu sudah salah mengerti? Tidak, tidak, itu bukan ide yang bagus. Bagaimana mungkin dia tega melihat wajah kecewa Hendra setelah membuat laki-laki itu bahagia dengan tidak sengaja.

Lalu, bagaimana dengan dirinya sendiri? Senggani juga tidak mungkin mengikatkan diri dengan cara seperti ini. Dia juga mau bahagia, tapi bukankah dia sudah bertekad untuk menerima Mahendra sebagai pilihan hatinya? Lalu kenapa sekarang dia malah mempermasalahkan semua yang sudah Hendra lakukan untuknya? Batin Senggani berperang sendiri. Dering telepon dari Hendra membuatnya terkesiap dan segera meraih benda kotak yang tergeletak begitu saja di meja rias.

"Morning, Pretty Princess. Kok, kamu belum turun untuk sarapan, Sayang? Aku sudah nunggu kamu dari tadi di bawah." Suara Hendra terdengar begitu bersemangat dan ceria.

"Kayaknya aku nggak sarapan, deh, Ndra. Masih capek, masih ngantuk."

"Jangan gitu, dong! Sarapan itu penting atau mau aku bawain sarapannya ke kamar kamu?"

"Oh, nggak ... nggak usah. Lagian aku juga belum lapar, kok. Kamu sarapan sendiri nggak apa-apa, kan?"

"Ya, udah kalau gitu, tapi nanti kamu harus makan yang banyak, ya, sebelum kita ke airport." Hendra mendengar jawaban setuju dari seberang. "Oh, ya, Sayang, aku tadi kirim sesuatu buat kamu. Mungkin sebentar lagi barangnya sampai di kamar. I hope you like it," ucapnya yang menimbulkan kerutan di dahi Senggani.

"Apa itu?"

"Surprise!" setelah mengatakannya Hendra segera menutup telepon.

Senggani mengembuskan napas berat. Surprise lagi? Terlalu banyak mendapat surprise selama tiga hari ini malah membuatnya bosan. Seharusnya menerima surprise adalah sesuatu yang menyenangkan, tapi sepanjang di Bali ini dia menerima begitu banyak kejutan dari Hendra yang sama sekali tidak diharapkan. Senggani berkutat dengan kopernya untuk packing barang karena nanti siang dia akan pulang ke Jakarta.

Di tengah-tengah packing baju, suara ketukan terdengar. Seorang petugas hotel membawakan sebuah kotak untuk Senggani. Mungkin ini yang dimaksud Hendra dengan surprise. Dibukanya kotak itu dan saat melihat isinya, lagi-lagi Senggani dibuat terkejut bukan main. Dia dihadiahi sebuah tas Hermes yang harganya bisa mencapai ratusan juta rupiah. Senggani sampai tak habis pikir, kenapa Hendra bisa punya pikiran memberikannya tas yang hanya dimiliki oleh para kaum jetset. Apa ini tidak terlalu berlebihan? Senggani membungkus kembali tas berwarna merah marun itu dan bergegas mencari Hendra yang sedang berenang di swimming pool.

"Maaf, Ndra, aku nggak bisa terima ini." Senggani to the point setelah Hendra naik dari kolam dan duduk di kursi santainya sambil mengeringkan rambut dengan handuk.

A Love to Him (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang