04. Gadis Bernama Senggani

182 9 0
                                    

Saat ini Senggani sedang menunggu bus di halte depan kampus dengan wajah cemberut. Perasaannya sedang kacau balau, nggak karuan. Penginnya nangis sambil marah-marah. Sudah ditolak plus dimarahi manajer artis karena disangka reporter palsu gara-gara ID card-nya hilang, eh dompetnya juga ikut-ikutan raib. Huuuh kesal!

Senggani yakin, pasti dompetnya dicuri oleh lelaki gondrong preman kampus yang tabrakan dengannya tadi. Pura-pura tersinggung, sok-sok menasihati padahal sebenarnya copet. Karena interview-nya batal, Senggani sempat berkeliling kampus untuk mencari lelaki gondrong tukang copet tadi. Dia bertanya kepada setiap orang yang ditemui, tapi tidak ada satu pun yang bisa membantunya menemukan orang yang dicari. Akhirnya, pasrah menjadi pilihan terakhir setelah tidak ada jalan lagi. Untung di saku belakang celana terselip uang sepuluh ribu, bisa dipakai untuk ongkos menuju fitness center tempat Linera sahabat karibnya menunggu.

Ponsel Senggani berdering, dari bos kantornya yang galak. Ibu Mirna.

"Gani, gimana, sih, kamu! Kok, bisa sampai interview-nya batal?" semprotnya langsung tanpa tedeng aling-aling.

"Maaf, Bu, ID card saya hilang dan manajernya nggak mau terima saya tanpa ID card," jawab Senggani takut setengah mati.

"Kenapa bisa hilang? Itu barang, kan, suka menggantung di leher kamu?"

"Tadi saya lepas waktu mau ke toilet, terus lupa saya taruh mana."

"Terus sekarang gimana pertanggungjawaban kamu? Mereka pasti sudah berangkat ke Medan. Mau kamu susul ke sana? Nggak, kan?" suara Bu Mirna semakin melengking membuat telinga Senggani serasa ditusuk duri ikan.

"Kamu harusnya tahu, kita sudah dengan susah payah dapat izin wawancara eksklusif sama mereka. Ini kesempatan kita untuk mengorek semua gosip perselingkuhan vokalisnya sama model majalah itu. Berita ini akan jadi highlight dan tabloid kita akan semakin terkenal. Harusnya kamu bisa lebih berhati-hati. Cuma kamu yang dipercaya sama kantor buat wawancara mereka. Nasib tabloid kita yang masih baru ini ada di tangan kamu, Senggani. Dan semuanya hancur gara-gara kecerobohan kamu!" cerocos Bu Mirna tanpa titik koma. "Sekarang apa yang mau kamu tulis coba? Kita udah nggak punya highlight berita lagi!"

"Iya, Bu, maaf. Saya mau, kok, kalau disuruh nyusul ke Medan sekarang juga. Saya mau tanggung jawab."

"Nggak perlu! Kita nggak ada budget untuk itu. Memangnya kamu mau pakai duit sendiri apa? Pokoknya saya kapok kirim kamu lagi untuk menangani berita-berita besar! Saya mau kirim orang lain saja yang lebih profesional dari kamu!" telepon pun ditutup.

Senggani sudah tidak tahan lagi, semua kesialan hari ini benar-benar membuatnya jadi gila. Apa hidupnya akan terus-menerus seperti ini? Rasanya seperti ingin berlari ke tengah jalan dan menabrakkan diri ke mobil yang sedang melintas. Istigfar ... istigfar ....

Lalu tanpa sengaja pandangannya membentur satu sosok menjengkelkan di antara kerumunan orang-orang di dalam halte. Si lelaki gondrong dengan penampilan urakan itu ternyata sedang berada di halte yang sama dengannya, menunggu bus yang sama pula. Lelaki itu juga terlihat cukup gelisah menunggu datangnya bus, terlihat dari caranya mengentak-entakkan sepatu ke aspal dengan irama cepat. Dia juga sesekali melihat ke arah jam tangan dan melongok ke arah kanan jalan tempat arah bus selalu datang.

Senggani tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan begitu saja. Pucuk dicinta ulam tiba, yang dicari ternyata datang sendiri. Ini kesempatannya untuk meminta balik dompet yang sudah dijarah lelaki itu. Pandangan Senggani tidak lepas dari buruannya itu, apalagi saat lelaki itu malah menjauh dari arah halte dan menghampiri seorang ibu tua yang terlihat kerepotan membawa barang bawaannya yang cukup banyak. Entah kenapa ada rasa khawatir dalam diri Senggani melihat ibu itu didekati oleh pencopet macam lelaki yang penuh manipulatif di depan sana. Senggani takut ibu itu akan menjadi korban berikutnya setelah dia. Ini tidak boleh dibiarkan.

Gadis itu pelan-pelan mendekatkan jaraknya dengan si pencopet, tapi tentunya masih dalam jarak aman supaya si copet tidak menyadari keberadaannya. Dengan jarak yang cukup dekat, Senggani bisa mendengar lelaki itu mencoba berbicara dengan calon korbannya.

"Bu, mari saya bantu bawakan barangnya." Lelaki itu langsung memanggul karung besar milik sang ibu.

"Iya, Nak, terima kasih. Bisa bantu bawakan sampai pangkalan ojek di seberang sana?"

"Iya, Bu, bisa." Mahesa mengawal ibu itu menyeberang jalan hingga sampai pangkalan ojek yang dimaksud.

Saat sedang mengamati gerak-gerik lelaki di seberang dengan saksama, tiba-tiba handphone Senggani bergetar lagi. Ada telepon masuk dari adiknya Dewa. Aduh apalagi ini? Senggani takut kesempatannya meringkus pencopet gagal total karena ulah adiknya yang telepon di waktu yang salah.

"Ada apa, Wa? Aku lagi sibuk. Emergency, nih!" Senggani sedikit geregetan.

"Oh, lagi interview, ya? Sorry, aku cuma mau ngasih tau kalau dompet kamu ketinggalan di rumah," ungkap suara di seberang sana.

"What? Dompet aku ketinggalan di rumah? Jadi, bukan dicopet?"

"Ini aku masih pegang dompet kamu. Kenapa? Kirain kecopetan, ya? Makanya jangan ceroboh!" Lalu terdengar suara tertawa Dewa.

"Iya, aku pikir dompet aku dicopet orang soalnya tadi aku tabrakan sama cowok seram. Aku pikir dia copetnya, ini aja aku lagi usaha nangkap dia."

"Eh, nggak boleh gitu, minta maaf sana. Nuduh orang sembarangan aja. Makanya sebelum berangkat apa-apa, tuh, dicek dulu. Kamu di mana posisi? Apa mau aku anterin aja dompetnya?"

Senggani ingat tadi pagi dia diantar adiknya yang malah lebih seperti kakaknya untuk sampai ke kampus tempat artis buruan berita itu berada. Jadi dari tadi pagi Senggani sama sekali belum mengeluarkan uang sepeser pun dari dalam dompet, makanya sampai tak sadar bahwa dompet itu sudah tertinggal di rumah.

"Nggak usah aja, deh, aku sekarang lagi jalan ke tempat gym. Nanti gampanglah pulangnya nebeng sama Linera aja. Untung aku nemu uang nyempil di kantong belakang celana, lumayan buat ongkos."

"Ya udah kalau gitu. Take care, ya."

Pembicaraan dengan Dewa berakhir, tapi pengamatan Senggani terhadap lelaki gondrong itu belum berakhir. Senggani masih memperhatikannya dengan jeli. Gadis itu hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan, lelaki itu membantu menata karung dan barang bawaan lainnya milik ibu agar tidak jatuh dari ojek.

Senggani bisa melihat si ibu mengucapkan banyak terima kasih dengan menyelipkan beberapa lembar uang ke tangan lelaki itu. Namun ditolaknya dengan senyuman. Meski si ibu memaksa, tapi lelaki gondrong itu tetap menggelengkan kepala sambil menyunggingkan senyum ikhlas.

Lalu tak lama kemudian bus yang ditunggu muncul juga, tanpa pikir panjang Senggani langsung masuk ke dalam bus yang juga diserbu oleh beberapa mahasiswa dan penumpang lainnya.

Di dalam bus, Senggani sempat melihat lelaki gondrong tadi berlari menyeberangi jalan dan dengan tergopoh-gopoh berusaha mengejar bus yang sudah melaju dengan cukup kencang. Senggani hanya bisa melihatnya berdiri dengan wajah putus asa karena ketinggalan bus. Akhirnya lelaki itu kembali ke dalam halte dan menunggu bus berikutnya datang. Sempat Senggani melihatnya menggaruk-garuk kepala tanda kepasrahan.

Tiba-tiba muncul rasa bersalah kepada lelaki tadi karena sudah salah menuduhnya sebagai copet. Walau bus sudah jauh meninggalkan halte, tapi tetap saja Senggani sesekali menatap ke arah belakang dengan wajah bersalah.

***

A Love to Him (Revisi)Where stories live. Discover now