19. Lampion-Lampion Bercahaya

61 3 0
                                    

Keberadaan Anton sangat membantu sekali. Selain bisa menjawab semua pertanyaan yang Senggani ajukan, Anton juga mengajak gadis itu berkeliling pelataran candi dan memperkenalkannya pada beberapa orang panitia WALUBI yang lain. Senggani merasa ini bukan interview, tapi acara jalan-jalan dan Anton sebagai guide pribadinya. Di balik itu semua Senggani malah merasa menjadi tamu kehormatan malam ini karena ditemani seorang panitia WALUBI dan diajak keliling-keliling area yang mungkin tidak sembarang orang bisa masuk ke sana.

"Terima kasih banyak, ya, saya sudah diajak keliling ke tempat eksklusif," ucap Senggani setelah mereka menyelesaikan tour-nya

"Sama-sama Nona, saya juga senang bisa membantu."

"Kalian nggak terganggu dengan ulah para pengunjung yang seenaknya begitu?"

"Tentu kami awalnya merasa terganggu. Kami juga mengharapkan suasana tenang saat beribadah, tapi ini sudah seperti ritual tahunan kalau kami melaksanakan Waisak di Borobudur pasti akan riuh seperti ini. Kami mencoba maklum dan berpikir positif kalau Waisak ini bukan hanya milik kami umat Buddha saja, tapi juga milik masyarakat lainnya. Pelan-pelan kami bisa menyesuaikan keadaan dan merasa bahwa pengunjung yang datang ke sini ada untuk mendukung kami."

Senggani tersenyum bangga dan kagum dengan jawaban Anton tadi, mereka begitu menerima situasi peribadatan yang selalu riuh setiap tahunnya. Seketika Senggani jadi malu pada diri sendiri yang tadi sudah mau bergabung dengan para pengunjung lain di teras altar utama untuk setidaknya meminta salah seorang biksu agar mau diwawancarai. Tindakan bodoh jika dia sampai seperti itu, untung Mahesa mencegahnya. Ngomong-ngomong sejak tadi, lelaki gondrong itu tidak kelihatan.

Sosok Mahesa berjalan mendekat dengan langkah santainya. Senggani menyunggingkan senyum manis ke arah lelaki itu, tapi sedetik kemudian dia urungkan. Apa-apaan sih, norak!

"Sudah selesai tour-nya?"

"Sudah. Ngobrol sama Nona Senggani seru dan menyenangkan," ungkap Anton yang membuat Senggani tersanjung. Cowok ini terlalu ramah dan rendah hati.

"Ngobrol sama Mas Anton juga seru. Asyik."

"Sa, sorry, aku harus segera balik. Sebentar lagi pelepasan lampionnya dimulai. Aku mau bantu yang lainnya prepare. Aku tinggal, ya."

"Oke, makasih sekali lagi, ya, Ton."

"Iya, sama-sama, tapi kalian ke sana juga, kan, nanti?"

"Iya. Habis ini kami mau ke sana."

"Oke." Anton mengacungkan jempolnya dan pamit dari hadapan mereka.

"Semringah amat. Nggak marah-marah lagi, nih?" ledek Mahesa saat melihat wajah Senggani yang tidak sejutek tadi sebelum Anton datang.

"Ngeledek, deh!"

Mahesa hanya nyengir melihat wajah Senggani yang malu-malu. "Kita makan dulu, yuk! Di bawah ada yang jualan nasi pecel. Kayaknya enak."

"Tapi lampionnya gimana?"

"Masih ada waktu, kok. Sebentar aja. Kamu juga belum makan, kan, dari tadi nanti masuk angin lho, yuk!"

Dan entah dengan sirih apa Senggani mengikuti setiap langkah kaki Mahesa.


***


Festival lampion memang menjadi suatu daya tarik tersendiri bagi masyarakat luas pada umumnya. Dengan adanya festival lampion semakin menambah warna tersendiri pada perhelatan Hari Raya Waisak setiap tahunnya. Ribuan orang sangat antusias untuk datang ke Pelataran Candi Borobudur hanya sekadar ingin menyaksikan ratusan lampion bercahaya indah itu terbang menghiasi langit malam yang gelap, meskipun mereka harus rela mengantre selama berjam-jam sampai ritual-ritual suci keagamaan selesai dilaksanakan dan Candi Borobudur bisa kembali dibuka untuk umum.

A Love to Him (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang