22 • Tega

98 42 7
                                    

Aku tidak menyadari bahwa seseorang bisa menjadi kejam akibat memikirkan keegoisannya sendiri.
















Minggu lalu, aku dimintai uang iuran kelas oleh Rasya. Dia mengatakan aku belum membayar uang iuran tersebut selama lima bulan terakhir.

Iuran kelas ku membengkak minta untuk segera dilunasi, sementara uang yang aku dapatkan dari hasil kerja telah habis untuk membayar kepentingan lainnya.

Jika aku meminta kepada ayah ataupun ibu, aku yakin mereka tidak akan memberikan uang sepeser pun kepada ku.

Saat ini aku hanya bisa berharap dari uang yang selalu aku sisihkan untuk ditabung, aku tidak akan menggunakannya jika tidak ada keperluan mendesak seperti sekarang.

Tabungan itu aku simpan di bawah kolong tempat tidur, menurut ku di sana lebih aman dan aku dapat memantaunya setiap hari.

Karena sekarang hari Minggu, ku gunakan waktu ku untuk membersihkan rumah dan mengerjakan pr, sebelum berangkat bekerja.

Ayah dan ibu telah berangkat ke tempat kerjanya, menyisakan aku dan kedua adik ku di rumah ini.

Ayah bekerja sebagai buruh tani di ladang orang, sementara ibu bekerja sebagai asisten rumah tangga di gang sebelah.

Kehidupan kami yang sekarang begitu sederhana setelah peristiwa dua belas tahun silam, dimana itu merupakan hal yang menyakitkan untuk diingat.

Sejujurnya aku lebih menikmati kehidupan yang sederhana ini, disini aku dapat menginstropeksi diri untuk selalu bersyukur dalam keadaan apa pun.

Hanya saja, kedua orang tua dan kedua adik ku belum bisa menerima kenyataan ini. Mereka senantiasa mengeluh akan kehidupan yang mereka jalani sekarang, yang jauh dari kata mewah.

Allah swt selalu punya cara agar hamba-Nya selalu ingat kepada-Nya, mungkin dari hal inilah aku dapat mensyukuri nikmat tersebut. Tapi mereka, kedua orang tua dan kedua adik ku masih belum bisa menerimanya.

Entah sampai kapan mereka selalu mengeluh tanpa mau berpikir untuk menyukuri nikmat pemberian Allah swt ini.

Padahal masih banyak orang-orang di luar sana yang lebih sederhana dari kami. Namun, mereka senantiasa bersyukur atas segala hal dari nikmat-nikmat Allah swt yang merasakan rasakan tersebut.

Setelah selesai mengepel lantai, aku beranjak untuk menyirami tanaman di halaman depan. Udara segar silih berganti memasuki paru-paru, serta cahaya matahari yang mulai memunculkan wujudnya.

Aku tidak tahu apakah kedua adik ku telah bangun atau belum, biarlah mereka mengistirahatkan tubuhnya dari segala aktivitas berat yang mereka jalani.

Saat cahaya matahari telah menusuk kulit, aku segera masuk ke dalam rumah setelah menyelesaikan pekerjaan ku sebelumnya.

Di ruang tamu aku melihat Astra sedang menonton televisi, sepertinya dia baru saja menyantap sarapannya. Terlihat bekas piring kotor dan remahan makanan di atas meja bambu itu.

Di mana Asya? Biasanya jika di situ ada Astra maka Asya tidak jauh darinya. Mereka ibarat sepasang anak kembar yang tidak identik, sangat serasi sekali. Bahkan, nama mereka pun sekilas terlihat sama.

Ku langkahkan kaki ku untuk mendekati Astra yang sedang serius menonton televisi. Agaknya dia tidak memperdulikan sekitarnya, dia hanya fokus terhadap apa yang disajikan di depan sana.

"Dek, udah makan?" tanya ku kepadanya sambil tersenyum. Dia menoleh sekilas lalu melanjutkan acaranya yang tertunda akibat pertanyaan ku barusan.

"Dek..."

"Bacot banget sih!" sentak Astra pelan.

"Kakak gak butakan, jadi bisa liat itu ada bekas makanan di meja!"

"Iya kakak liat, cuman mau memastikan aja dek."

"Halah basi!"

"Apa nih ribut-ribut?" tanya Asya heran, dia melihat ku dengan tatapan sinisnya.

"Biasalah," jawab Astra datar.

"Heran deh gak sama ayah atau ibu hobinya suka nyari masalah. Gak capek apa? Atau dilahirin emang udah takdirnya pembawa masalah?" tukas Asya menyeringai sinis.

Mendengar lontaran kalimat Asya yang begitu tajam, Astra tertawa pelan mengejek diri ku.

"Bisa jadi sih, soalnya tiap ada masalah pasti akarnya dia." tutur Astra menambahkan.

"Bener banget makanya ayah sampai eneg sama dia," ucap Asya.

"De-ek, kok kalian ngomongnya gitu sih," lirih ku pelan.

Kata-kata yang dilontarkan mereka kepada ku begitu tajam dan menusuk, ya Allah siapa yang mengajarkan mereka untuk mengucapkan kalimat seperti itu.

"Gak usah pura-pura sedih, lagian emang fakta," ujar Asya dengan tatapan datarnya.

"Tapi dek..."

"Ayolah bang Astra kita keluar rumah beli martabak, panas di sini ada ilbis soalnya." ajak Asya kepada Astra dengan raut wajah yang begitu sinis.

Asstahfirullahaladzim, batin ku. Sambil mengelus dada, mencoba untuk menetralisir sakit hati yang ada di dalamnya.

Setelah memastikan kedua adik ku keluar dari pekarangan rumah, aku memutuskan untuk mengerjakan pr.

Baru mulai membuka buku pelajaran, aku teringkat akan uang iuran yang harus dibayarkan besok kepada Rasya.

Besok adalah hari terakhir untuk membayar iuran tersebut, dengan tergesa-gesa aku mencari tabungan ku yang berada di bawah tempat tidur.

Tapi setelah sepuluh menit mencarinya, aku tidak menemukan sama sekali keberadaan tabungan tersebut.

Dengan hati yang begitu kalut, aku kembali memeriksa sekali lagi. Barangkali aku tidak melihatnya dengan teliti tadi.

Namun sama saja, hasilnya nihil. Tabungan itu tidak ada di tempatnya, rasa panik mendominasi ku saat ini.

Aku berusaha memeriksa setiap jengkal sudut kamar untuk menemukan tabungan tersebut, mungkin saja aku meletakkannya di lain tempat. Mengingat kebiasaan buruk diri ku mudah melupakan saat meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya.

Setelah sekian lama mencari namun aku tetap tidak dapat menemukannya, dengan derai air mata yang mulai mengalir, aku mendudukkan diri ku di kasur untuk mendapatkan ketenangan sejenak.

Dengan nafas yang lebih tenang aku beusaha untuk mencari kembali, netra ku terfokus ke arah keranjang sampah yang berada di pojok kamar.

Hanya itu tempat yang belum aku periksa, tapi tidak mungkinkan tebungan itu berada di sana.

Perlahan, ku langkahkan kaki untuk melihat lebih dekat keranjang sampah tersebut.

Tubuh ku membeku, dan nafas ku tercekat di tenggorokan. Di depan sana, lebih tepatnya di dalam keranjang sampah tersebut tergeletak tabungan ku yang sudah tak berdaya.

Dengan tangan gemetar, ku ambil tabungan tersebut. Derai air mata ku begitu deras, sepertinya isi tabungan ini telah diambil paksa. Karena di tabungan itu terdapat bekas sayatan pisau.

Ya Allah, siapa yang tega melakukan ini. Jerit ku dalam hati.

Di luar sana aku mendengar percakapan dan gelak tawa dari kedua adik ku, sepertinya mereka telah kembali dari pasar.

"Apa aku tanya mereka aja ya, pasti mereka tau ini ulah siapa." gumam ku pelan.

Sambil menghapus jejak air mata yang membekas di pipi, aku beranjak untuk menemui kedua adik ku di ruang tamu.

"Dek," panggil ku kepada mereka.
Mereka berdua menoleh kepada ku dengan raut wajah datar dan mengangkat alis matanya, seakan menjawab 'kenapa'.

"Dek, kalian tau gak siapa yang udah ambil uang dari tabungan kakak?" tanya ku kepada mereka dengan halus.





















Bismillah up lagi 🙌🏻
Jangan lupa tinggalkan jejak 👣

Happy Reading ✨

Luka Tersembunyi [END]Where stories live. Discover now