12

229 30 12
                                    

.

.

.

.

"Ayo kita bercerai saja," ucap Seulgi asal.

.

Jimin terdiam. Berdiri patung tanpa bicara apapun soal kalimatnya. Namun Seulgi tidak perduli dengan apa yang dipikirkan pria itu, yang jelas ia ingin segera tidur. Menjemput kantuknya yang tidak kunjung muncul, daripada meladeni setumpuk lelah dalam pikirannya.

"Aku sudah menemukan orang yang tepat, jadi ayo kita bercerai saja," jelas Seulgi membuka mantelnya. Menggantungnya di dekat dinding, namun tidak juga membereskan keberantakan kamarnya.

Sebuah tangan kemudian menahannya. Menariknya mendekat dengan segera. "Dia bukan orang yang tepat. Kau salah." Jimin menangkap maniknya yang berkabut. Menelannya dalam gelap yang sudah lebih dahulu menjemput.

"Apa perdulimu?" Seulgi menghempas tangan itu. Kakinya pun lelah, bosan menahan berat tubuhnya sendiri. "Aku tidak bisa terus hidup seperti ini. Sekeras apapun aku berusaha, aku tetap tidak bisa mengerti dirimu. Kau pun tidak berusaha untuk mencintaiku jadi tidak ada alasan untuk melanjutkan ini."

Raut Jimin berubah mengeras. Berkilat-kilat matanya membakar emosi yang menggebu. "Setelah semua yang aku lakukan, kau masih bilang bahwa aku tidak berusaha?"

Jantung Seulgi berhenti berdegup. Ketakutannya berlarian mengitari semua bentang dirinya. Aura dominasi Jimin lalu kembali menangkapnya. Tidak memberinya ruang untuk melarikan diri. Alih-alih memenjarakannya ke tepian dinding.

"Lihat aku. Apa semua yang aku lakukan itu bukan usaha?" Jimin menguncinya. Mendorongnya ke belakang sampai punggungnya terhimpit pada dinding. "Aku melakukan semua hal yang bisa aku lakukan untukmu. Aku menghawatirkanmu, membuatkanmu sarapan dan melakukan tanggung jawabku seperti pernikahan yang mereka katakan. Kau pikir ini apa?"

Jemari Seulgi mendingin mendengarnya. Sorotnya bahkan bisa gemetar menatap sepasang manik hitam di depannya itu. Mungkin benar jika ia tidak mengerti Jimin. Tidak pernah ia memikirkan pria itu dengan baik. Tidak pernah tahu jika Jimin terpaksa melakukan semua itu karena dirinya.

Seulgi tidak berbeda dengan seorang egois, tidak seharusnya ia membebani Jimin untuk waktu yang lama. Maka benarlah jika ia harus mencari alasan tepat, yang akan membuat Jimin bebas. Berbohong seperti, "Aku tidak pernah merasa bahwa semua itu berarti bagiku."

Tanpa sadar sebuah air mata lolos begitu saja dari pipinya. Mengaburkan bayangan Jimin yang masih memandanginya dengan sekelumit emosi yang rumit. Dan pria itu kembali mendekat. Mengikis jarak yang mereka buat dengan sekali tatap.

"Aku belum menyelesaikan semua usahaku. Mau ku tunjukkan sisanya?"

Seulgi tidak mampu bersuara, tidak bisa menahan sendiri isakannya. Sesak di dadanya pun sudah lebih dahulu mengambil sensitifitas indranya. Tidak sadar jika Jimin sudah menariknya pergi. Melemparnya ke atas ranjang berantakan miliknya, lengkap dengan lengan-lengan Jimin yang terus memenjarakannya.

Seulgi membatu. Otaknya sangat terbentur menerima semua perlakuan yang dilihatnya. Nyatanya Jimin tidak berhenti bergerak. Pria itu menciumnya tergesa seakan ia akan mati esok hari. Jemari-jemari itu ikut melintasi bahunya. Menangkapnya seperti pasokan oksigen yang dibutuhkan paru-parunya.

"Ji─min─" Seulgi terus mendorong tubuh besar itu dengan nafas terputus. Mencoba menggerakkan kepalanya untuk menghindar, tapi Jimin tidak akan melepaskannya. Menghalangi nafasnya yang bekerja untuk terus hidup.

Sesaat ketika pria itu melepaskannya, ia dapat melihat keredupan mata itu berlinang. Semakin menyesakkan dadanya saat ia berbisik, "Aku tidak pernah melakukan ini pada siapapun. Jadi saat aku melakukannya, maka kau adalah orang yang tidak akan pernah aku lepaskan."

White Marriage || seulmin•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang