6

202 39 4
                                    

Matahari sudah bersinar kemerahan. Menyisakan dingin yang diam-diam menyusup hingga ke dalam vila. Ruangan berubah meredup, dihiasi hujan ringan yang meradang di luar. Terlalu rileks, Seulgi pun segera teringat dengan beberapa hal dalam hidupnya. Ia mungkin berendam air hangat dalam bathup sejak setengah jam yang lalu. Tidak memikirkan Jimin yang mungkin membatu menunggu gilirannya. Namun busa sabun yang ia ciptakan membuatnya meletup. Menyergap dirinya ke dalam buih bayangan Jimin yang mengganggu pikirannya.

Ketika Seulgi keluar dari kamar mandinya, ia mengenakan salah satu bathrobe yang tergantung dengan rapi di sisi kamar mandi. Maniknya yang kosong segera menemukan wujud Jimin di jendela. Sibuk memperhatikan sisi lautan kala hujan, seakan semua itu terlalu menarik untuk dilihat.

Seulgi tidak ingin menghiraukan. Mengingat tidak ada kepemilikan kamar dalam acara bulan madunya. Karena Jimin pun berhak tidur atau melakukan aktivitas yang ia inginkan di kamar itu, bukan hanya dirinya.

Menggerakkan kakinya kembali, Seulgi menggapai rak-rak lemarinya. Menangkap potongan pakaian yang ia butuhkan, yang entah sejak kapan sudah berpindah pada rak teratas. Dirinya kini semakin mendongak, menarik ujung lipatan pakaiannya yang tidak akan sulit dilakukan jika berjinjit kaki.

Sebuah ide datang di kepalanya. Seulgi pun berakhir sibuk memaksakan kakinya yang terkilir untuk bekerja. Sampai tidak sadar kalau Jimin diam-diam tengah mengawasinya. Pria itu baru saja meletakkan buku yang dipegangnya. Memilih mendekat di belakang punggungnya tanpa bicara.

Seulgi yang menyadarinya hampir melesakkan jantungnya sendiri. Bagaimana tidak, tangan itu mendahuluinya jauh lebih mudah. Mengambilkannya satu yang ia inginkan, lalu memberikannya dengan wajah sedatar dinding.

Untuk sepersekian detik hati Seulgi dipenuhi gelombang elektromagnetik. Tertarik untuk memandangi sosok Jimin dengan tidak tahu terima kasih. Bahkan untuk berucap sesuatu demi mengusir saja ia tidak mampu melakukannya.

Si wanita akhirnya berpikir tentang semua orang yang memiliki privasi soal isi lemari. Tidak ada yang boleh menyentuh sesuatu yang bukan milik kita di lemari. Namun apa yang salah ketika pakaian mereka berada dalam satu tempat yang sama? Diletakkan bersisian dengan sekat kayu yang berwarna senada dengan pintunya. Dan Seulgi baru saja berdilema ria dengan keajaiban barunya bersama Jimin.

"Aku memindahkan pakaianmu disana karena─"

"Aku tidak sependek itu," potong Seulgi telak. Tidak mau mengurusi pembagian wilayah di lemari. Mengingat pembagian wilayah di ranjang saja dia sudah putus asa. Jadi terserah suaminya saja mau meletakkan pakaiannya dimana.

Menyaksiakan si wanita berjalan menjauhinya, Jimin menutup semua pintu lemari. Berakhir dengan menahan gelengan ringannya saat ia menelik bagaimana Seulgi berjalan terpincang-pincang hanya untuk menaruh pakaiannya. "Kau butuh bantuan?"

Seulgi menyernyit tak suka. Rambutnya yang basah harus segera dikeringkan kalau ia tidak lupa membawa hair dryer di koper. Jadi ia berakhir dengan menatap Jimin yang masih berdiri di depan lemari sebagai gantinya. Mempertanyakan, mengapa suaminya itu masih berdiri di sana sementara ia butuh berbenah soal penampilan. "Aku bisa memakai pakaianku sendiri. Sekarang pergilah atau mandi, karena aku harus─"

"Kau melupakan sesuatu," tutur Jimin melangkah pelan. Mendekat pada Seulgi yang entah bagaimana menjadi sangat terintimidasi. "Sesuatu yang penting."

Seulgi gugup sendiri. Pikirannya berlalu-lalang mencari arti. Mendapati Jimin yang menatapnya tanpa permisi seperti itu, telak membuat jantungnya habis terdebur ombak. Jemarinya yang dingin pun semakin memucat, tergenggam sempurna ketika kakinya mulai melangkah mundur dari sisi ranjang. Namun Jimin tidak menghentikan langkahnya. Masih mengejarnya seperti pemburu yang membawa senapan.

White Marriage || seulmin•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang