7

216 41 6
                                    

Jimin turun dari mobilnya ketika malam terasa semakin sunyi. Kegelapan di sekitar rumahnya kemudian membawanya segera memasuki pagar. Menekan kode pintu dengan cepat sebelum pundaknya patah, atau mungkin diserang hawa dingin halaman yang dipenuhi serangga malam.

Mendapati lampu ruang tengahnya menyala ia menemukan raung televisi yang menganggur. Ia lantas memeriksa arlojinya, menyocokkan waktu disana dengan pemandangan baru yang ia lihat di sofa. Tepat pukul dua malam, dan Seulgi tertidur disana dengan cemilan yang masih ada dalam genggamannya.

Jimin buru-buru mematikan televisi sebelum tagihan listrik melonjak. Meletakkan tasnya di kamar, lantas bersiap untuk mandi. Namun pemikirannya tidak sesederhana itu dalam menyelesaikan berbagai hal yang ia temukan. Nyatanya, ia cukup terganggu dengan posisi Seulgi yang hampir terguling ke lantai. Padahal jika ia ingin, ia bisa tidak memperdulikannya. Masuk ke kamar mandi dengan menutup mata, lalu beranjak tidur mematikan lampu.

Sederhana. Bahkan hal yang paling mudah untuk dilakukan manusia manapun. Tapi letak permasalahannya adalah Jimin punya tanggung jawab yang besar atas Seulgi saat ini. Dan ia tidak begitu perduli mengapa ia kembali ke ruang tengah, kemudian berdiri tepat di hadapan Seulgi yang tergolek lucu dengan nafas teratur.

Perlahan ia menyingkirkan setoples snack yang dipeluk wanita itu. Dengan hati-hati salah satu tangannya menyusup lewat leher dan kaki Seulgi lalu mengambil tubuh yang bergerak itu mendekat padanya. Namun saat ia hendak mengangkat tubuh kecil itu, Seulgi kembali bergerak terganggu.

Jimin mungkin menginginkan hal ini berjalan dengan mudah. Ia bahkan berpikir, mengapa ia tidak membangunkan Seulgi dan menyuruhnya untuk pindah ke kamarnya? Mengapa ia harus susah-susah membopong seulgi ke kamarnya kalau ia bisa melakukan opsi pertama?

Entahlah, Jimin pun tidak memahami dirinya sendiri. Lagipula ia sudah terlanjur melakukan ini.

Terlalu banyak menimbang, akhirnya Seulgi mengerjab memeluknya. Berpikir bahwa Jimin adalah ranjang yang nyaman, wanita itu mulai sedikit mengalungkan lengannya pada bahu Jimin.

"Hey, Seul," panggil Jimin merasa sedikit tercekik. Ia bahkan tidak tahu apa yang harus ia lakukan dengan posisinya.

Seulgi lagi-lagi mengabaikannya. Wanita itu malah menggaruk kepalanya, lalu bergumam sesuatu yang tidak Jimin pahami.

"Seulgi?"

Maka terbukalah mata bulan sabit itu menatapnya. Berkedip beberapa kali, wanita itu masih tidak bisa mencerna pemandangan di depannya. "Huh?"

Jimin dengan sabar menunggu mata itu terbuka dengan sempurna. Membiarkan Seulgi menggapai kesadarannya dengan beberapa usakan di matanya. Ia pun masih tidak kunjung bergerak kala sosok itu menatapnya sendu. Seakan menganalisa, meresapi pergerakan lambat yang dibuat Seulgi dengan sedikit, lucu?

Seketika Jimin melepas pelukan Seulgi padanya. Membuat Seulgi terkejut setengah mati karena ia ternyata tidaklah bermimpi ketika menemukan Jimin berada begitu dekat dengannya.

"K-kau sudah pulang?" tanya Seulgi kikuk menemukan manik Jimin menatapnya. Sedangkan Jimin sudah beranjak, menggaruk kepalanya kaku dan mau tidak mau harus menjawab beberapa pertanyaan penting.

"Kau tertidur," usaha Jimin menjelaskan segalanya. Bahwa ia tidak lancang atau melakukan sesuatu yang aneh pada Seulgi.

"Ah, aku menonton film dan─" Seulgi ikut menggaruk kepalanya. Ia pada akhirnya tidak ingin membahas masalah 'kelancangan'. "ya, aku tertidur. Maafkan aku."

Jimin sedikit lega, terlebih ketika melihat senyum kantuk Seulgi mengembang. Ia lantas tidak perlu risau soal kecanggungan. Karena ini akan berlalu dalam waktu yang lama dan Jimin tentu harus terbiasa.

White Marriage || seulmin•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang