One

4.4K 355 51
                                    

Walau waktu baru menunjukkan pukul 5.15, aktivitas di rumah dua setengah lantai milik dokter bedah jantung ternama, Ken Hamizan sudah terlihat hiruk-pikuk. Satu-persatu dari tiga anaknya akan bermunculan ke meja makan besar yang bisa menampung delapan orang.

"Ibu, maaf aku lama. Ada yang bisa aku bantu, gak?" tanya Grace si anak sulung yang segera menghampiri ibunya yang terlihat sibuk di depan kompor.

"No, thanks... I'm done," jawab Rein sambil tersenyum dan menunjukkan satu telur mata sapi yang baru selesai digoreng dan ditaruh ke piring saji. "Kamu tolong bawa makanan-makanannya ke meja aja, Grace," tambahnya lagi.

Shane si anak tengah yang baru muncul segera diperintah oleh ibunya untuk memanggil ayah mereka yang tadi masih mandi saat ditinggal Rein memasak.

Baru separuh jalan di tangga, Shane bertemu dengan ayahnya yang tersenyum hangat, mengusap lembut puncak kepalanya dan berbisik pelan sambil memberi kode ke arah kamar adik bungsu mereka, "Jun...." Shane mengangguk mengerti kalau tugas dia beralih jadi membangunkan si bungsu yang kerap susah untuk dibangunkan karena sering begadang entah untuk apa.

Baru sampai di puncak tangga suara kencang Shane sudah terdengar ke seluruh penjuru rumah. "Juned!!! Bangun, gak!!! Buruan!! Kalo enggak, jatah makanan kamu aku kasih ke kucing liar!!!"

Berjengit sedikit mendengar teriakan membahana anaknya, Ken berjalan ke arah dapur, membantu istri dan anaknya mengeluarkan alat makan dari pantri sementara Grace masih sibuk menata makanan dan Rein sedang masukkan alat-alat masak ke dishwasher yang kemudian dia lanjutkan dengan mengelap kompor dan backsplash dapurnya sampai bersih.

Tak berapa lama, semua akhirnya siap. Jun yang seragam sekolahnya masih separuh terkancing sudah diseret-seret oleh Shane menuju meja makan diiringi caci-maki dari si bungsu yang dia abaikan begitu saja.

"Masak apa, bu?" tanya Jun saat sudah sampai.

"Nasi goreng sama telur ceplok. Baju kamu rapiin dulu!!" geram ibunya.

"Kenapa gak omelet, sih, bu...." gerutu Jun sambil terburu-buru merapikan bajunya.

"Bikin sendiri kalau mau!! Anak manja!!" omel Shane yang sudah duduk manis di sebelah ibunya.

Jun mencibir, memilih mengambil tempat di sebelah Grace yang duduk di seberang Shane.

"Kak Grace, tolong garem sama lada, dong!" pinta Jun dan Grace segera memberikannya tanpa protes.

"Cen, tolong sambel!" pinta Jun lagi.

"Itu nasi goreng udah pake cabe, masa masih perlu sambel juga? Gak takut mules emangnya?" omel Shane.

"Ya selera aku begini, sih. Salahnya apa emangnya? Buat telor ceploknya tau!"

Ken menghentikan makannya sejenak, menatap ke arah ke-dua anaknya yang tampak akan saling bersilat lidah sampai mereka semua berangkat jika tidak diinterupsi. "Kalian bisa gak, sih, tenang sedikit barang 15 menit aja. Ribut terus kerjaannya tiap ketemu."

"Si ayam neon duluan yang cari gara-gara, Yah," ucap Jun membela diri.

"Hah? Ayam apa?" seru Shane tak terima.

"Ya itu rambut kamu, Cen. Persis ayam neon," ucap Jun yang mentalnya tampak siap untuk dirundung regu penembak karena berani mengomentari rambut biru elektrik kakaknya.

Semua yang ada di meja kecuali Shane mendengkus menahan tawa. Sebelum Shane meledak, ayahnya segera menimpali. "Kayaknya dua hari lalu ayah liat rambut kamu masih warna pink gonjreng, kenapa sekarang udah jadi biru aja?"

"Fuchsia, yah....warna fuchsia...." koreksi Shane. "Aku bosen. Udah dua bulan pakai warna itu, sekarang kuganti biru aja."

"Gak mau punya rambut normal kayak Grace memangnya? Nanti kalau rambut kamu rusak gimana?" tanya ayahnya lagi.

Love You in Silence (New)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt