Sekian detik kemudian, ajaibnya ia berubah memikirkan ketegangan mereka siang tadi. Ia sendiri mengaku tidak akan bisa tidur jika ia belum meluruskan segalanya. Lalu disinilah ia yang memberanikan diri untuk membuka suara, mencoba membangunkan Seulgi yang entah sudah terjaga atau tidak dalam tidurnya.

"Seul, kita harus bicara," tutur Jimin mengguncang lengan yang lemah itu dengan tangannya sendiri. Tidak perduli jika Seulgi akan bangun kemudian dipenuhi kesal karenanya.

Seulgi yang merasa terganggu, menampik jemari di lengannya. Tidak lupa bergumam acak yang tidak bisa diketahui satu manusiapun masalah artinya. Tapi mengapa semua orang tidak paham kalau dirinya lebih pening dari sekedar buram menghadapi hangovernya?

"Seulgi?"

Tidak ada jawaban. Mungkin benar, jika Seulgi terlalu batu masalah dibangunkan. Namun bukan Jimin namanya kalau menyerah begitu saja.

"Seulgi, bangun," panggil Jimin yang kini tega mengguncang tubuh Seulgi yang damai. Membuat tubuh itu mengeliat terganggu. Lebih tampak ingin segera memakan dirinya sampai sisa tulang.

Sosok itu akhirnya beranjak. Melotot marah pada si pengganggu sambil melempar bantal yang baru saja dipakainya. Lagipula kepala Seulgi kelewat pening. Untuk memejamkan mata saja ia sudah berusaha setengah mati. Kenapa harus diganggu?

"Aku tidak mau bicara denganmu!"

Mendapati aroma minuman yang begitu kuat dari Seulgi, Jimin berubah tak suka. Terlebih ketika wajahnya benar-benar dihantam bantal. Kesal sekali rasanya. "Ini masalah ucapanku siang tadi. Aku mengatakannya karena aku tahu kau tidak nyaman dengan mereka. Seharusnya kau bicara kalau kau tidak suka."

Seulgi menatapnya tajam. Kepala peningnya bahkan sudah lebih dulu terbakar emosi dibandingkan dengan ia yang hendak menjelaskan bahwa ia butuh waktu sendirian untuk menenangkan diri. Termasuk meredakan kepalanya yang terus berputar.

"Menurutmu aku bisa bicara begitu di depan keluargamu?"

"Tentu saja kau bisa," jawab Jimin ketus. Dan jujur, ia tidak pernah suka menghadapi orang mabuk sebelumnya. Untuk kasus Yoongi saja ia pernah meninggalkan sahabatnya itu di tengah jalan karena terlalu berisik. Lalu apa bedanya dengan Seulgi? Bukankah ia seharusnya pergi juga?

Seulgi mulai menekan kepalanya. Cukup frustasi sebenarnya menghadapi ketegangan mereka yang sejak tadi tidak menemukan solusi. "Tidak. Bahkan ketika ibumu berbicara tentang pernikahan kita, aku tidak bisa mengatakan apapun. Aku tidak bisa menjawab semua pertanyaan mereka padahal aku sendiri tahu jawabannya."

"Bagaimana mungkin kita punya anak?" lanjut Seulgi dengan sisa kesadarannya.

"Aku sudah bilang jangan memaksakan diri," ulang Jimin betah menatap isterinya yang ingin beranjak pergi. "Mereka bukan keluargamu. Mereka bukan seseorang yang berhak atasmu."

Mendengar itu mendadak perasaan Seulgi berubah sakit. Tidak tahu mengapa kalimat itu terasa sedikit ngilu di hatinya. Mengenai bukan keluarga─tentu saja─Seulgi hanya penyusup dalam keluarga orang lain. Tapi kenapa ia bisa keberatan dikatakan demikian?

"Lalu kau siapa?" Seulgi urung menemukan pintu kamar itu. Kakinya berhenti tepat di depan Jimin, tidak pula bergerak sebelum matanya membolongi manik yang berkilat kesal itu. "Apa kau berhak atasku?"

Jimin terdiam. Tidak tahu harus menjawab apa meskipun ia bisa berbicara berdasarkan kondisi pernikahan mereka. Seulgi adalah isterinya, isteri sahnya. Seseorang yang seharusnya menemaninya mengarungi lautan hidup, dalam suka maupun duka. Namun nyatanya ia tidak juga berhak atas Seulgi, tidak berhak berbicara seperti ini padanya. Dan yang paling penting, ia tidak pernah berhak mengatur hidup wanita itu.

White Marriage || seulmin•Where stories live. Discover now