× • 🎧 • ×

"Oh ...." Reola terdengar kecewa saat bertelepon dengan Jofi pagi itu. "Sama Lou?" tanyanya kemudian, dan Jofi mengiyakan. "Acaranya sampe jam berapa?" Lagi, Reola memastikan.

"Belum tau, cantik. Kemungkinan sore, nanti dikabarin lagi gimana-gimananya," Jofi menjelaskan lantas mengucapkan selamat tinggal dan menutup telepon.

Reola menghela napas berat, kaki dan bahunya jadi lemas. Dia tidak ingin minta diantar oleh Rave, cowok itu bisa semakin mengejek Reola karena Jofi lagi-lagi tidak bisa menjemputnya untuk ke sekolah. Sibuk dan banyak acara yang harus didatangi, bersama Lou pula, mungkin Reola tak akan selemas ini kalau teman Jofi cowok semua. Yah, ingin bagaimana lagi, itu di luar kendali Reola.

Seperti dapat mukjizat, Declan mengirim Reola sebuah pesan, mempertanyakan apakah dia sudah di sekolah atau belum. Reola cepat-cepat menelepon cowok itu saja, khawatir terlambat.

"Gue nggak ada yang anteriiiinnnn!" Reola langsung berseru ketika Declan menerima panggilan telepon.

"Ya udah, tunggu sebentar," ujar Declan sebelum memutuskan sambungan begitu saja.

Ternyata Declan tadi memang sudah dekat, jadi cowok itu sungguhan sampai tak lama setelah sambungan telepon putus. Reola tidak basa-basi dahulu, dia langsung naik ke motor Declan setelah cowok itu menurunkan pijakan.

Mereka melewati jalan yang biasa Declan tempuh setiap kali membawa Reola, supaya bisa tiba lebih cepat berhubung jam mereka selalu mepet. Namun, ternyata mereka sial kali ini, gerbang sekolah ditutup lebih cepat dari biasanya, karena akan ada sosialisasi ke kelas-kelas oleh beberapa orang penting negara.

Ditanyai penyebab terlambat jelas sudah bukan hal yang asing, bermacam-macam alasan sudah Reola dengar. Dari diomeli ayah sampai dikejar anjing. Lalu giliran Reola untuk memberi alasan kala itu, menentukan apakah dia bisa dibiarkan masuk, dihukum, atau diminta putar balik bubar jalan.

Reola diam saja awalnya, karena agak tidak indah apa bila dia beralasan karena menunggu Jofi yang ternyata tidak berkesanggupan menjemput. Lantas Declan di belakang Reola, memilih untuk bicara.

"Dia terlambat karna saya," tutur Declan dengan nada bicaranya yang apatis tak pandang bulu. "Saya udah janji jemput, tapi mampir buat ngopi dulu."

"Lain kali jangan tunggu pacar kamu ini, Reola," kata satpam yang sudah hafal pada wajah Reola karena sering melihat cewek itu menunggu Rave. Reola hendak buka mulut, tapi satpam segera menyuruhnya masuk saja.

Entah bagaimana nasib Declan, cowok itu lagi-lagi sengaja menenggelamkan diri supaya Reola bisa selamat. Reola sempat menunggu sebentar, memastikan apakah Declan akan disuruh pulang atau hanya dihukum. Mengejutkannya cowok itu dibiarkan masuk begitu saja setelah dapat wejangan beberapa menit.

"Nggak dihukum, Lan?" tanya Reola saat Declan melewatinya untuk naik tangga. Cowok itu menggeleng singkat, dan tetap mengundaki tangga dengan amat santai seakan mereka tidak sedang terlambat masuk kelas.

"Baru pertama," ujar Declan kemudian.

Reola mengangguk paham sambil membuat oh panjang. Yah, syukurlah kalau cowok itu dapat dispensasi sebagai murid cerdas dan disiplin. Reola bisa merasa bersalah setengah mampus kalau sampai harus mengorbankan Declan lagi. Terlepas dari itu kemauannya atau tidak.

"Ruangan berapa, La?" tanya Declan setelah Reola menyusul langkahnya sampai lantai dua.

"BG 22," jawab Reola agak mengambang. Heran kenapa Declan bertanya demikian. Cowok itu tidak akan mengantar Reola sampai kelas dan sungguhan jadi telat masuk, 'kan?

Dan, yah, Declan ternyata juga sampai mengantar Reola ke kelasnya. Cowok itu bahkan bicara pada guru Reola perihal penyebab keterlambatannya, mungkin benar-benar tidak ingin nilai Reola jadi jelek.

Lagi pula, ini juga kali pertama Reola terlambat, mana mungkin satu kali terlambat bisa membuat nilainya C. Namun, Reola sangat mengapresiasi yang Declan lakukan, cowok itu bertanggung jawab untuk hal yang sama sekali bukan kesalahannya.

Kalaupun ada yang harus disalahkan, sudah pasti Jonathan.

Setelah kelas pertama, ada jeda yang cukup untuk makan siang saja. Reola menghubungi Declan, mengajak cowok itu sarapan kalau saja sudah dapat jam istirahat. Reola pikir Declan akan beralasan sibuk, apa lagi cowok itu hanya membaca pesan Reola.

Tahu-tahu Declan justru sudah berdiri di depan pintu kelas Reola, menunggunya untuk ke luar. Reola meraih kotak bekal dari laci meja dan segera menghampiri Declan. Benar, dia juga sempat berniat memberi bekalnya untuk Jofi karena cowok itu selalu tak sempat ke kantin. Tapi apa daya, mungkin Reola akan makan bekalnya sendiri saja.

"Tumben?" Declan mengedik pada kotak bekal yang Reola peluk.

"Pengen ajaaa." Reola meringis. "Gue kemaren belajar bikin boy toast yang sempet viral ituuu. Mau coba, kah? Nggak pake susu, kok."

Declan hanya menatap pada kotak bekal Reola untuk beberapa saat, mungkin ada sesuatu di pikirannya. Jujur Reola juga tak enak hati, karena dia berniat memberikan bekal untuk Jofi yang kalau jadi justru akan berakhir di perut Declan. Reola ingin Declan mendapat yang spesial, yang memang khusus Reola buatkan untuk cowok itu. Namun, tidak menawari Declan untuk mencoba juga terasa janggal.

"Boleh."

Senyum Reola terbit, agak kaku karena senang meski tak enak hati. Dia senang bahwa yang pertama kali mencicipi roti-nya adalah Declan.

Declan melengos saat melihat Reola tersenyum, heran juga kenapa dia mau-mau saja mencoba roti yang tujuan awalnya pasti bukan untuknya. Tapi yang Declan lakukan sudah terbayar impas saat melihat Reola senang.

DeclanousWhere stories live. Discover now