16

154 19 1
                                    

"Agak bawah Ner. Yah, di situ.."

"Di sini?"

"Iya. Ah, ya gitu terus."

"Ka, nggak usah berisik bisa nggak?"

Raka membuka mata, menatap Nera yang berdiri di ujung ranjang tengah memijit kakinya. Raka mengernyit melihat pipi Nera yang memerah. Ada apa? Apa salah mengeskpresikan apa yang dirasakan? "Emang kenapa, sih?"

Kedua tangan Nera memijit kaki kiri Raka yang 'katanya' pegal itu. Dipijit bukannya diam malah banyak omong.  "Masih sakit nggak?"

Perlahan Raka menggerakkan kaki kirinya yang tidak lagi terasa pegal. Tatapannya tertuju ke Nera yang menunduk dan masih memijitnya. Sudut bibir Raka tertarik ke atas, sedikit mengerjai Nera sepertinya seru. "Kaki kanan gue juga sakit, Ner."

Nera menatap kaki kanan Raka. Kedua tangannya lalu beralih memijit. Dia melihat lelaki itu menahan senyuman. Sial dia ngerjain gue. Kedua tangan Nera lalu memijit kaki Raka dengan kencang.

"Ner! Sakit!" Raka memekik saat Nera memijitnya kencang dan kuku panjangnya menancap di kulit kakinya.

"Diem ah. Namanya juga dipijit. Kalau gini namanya dielus."

Raka menggerakkan tubuhnya hingga duduk bersandar di kepala ranjang. "Tangan gue juga pegal."

"Bodoh amat!" Nera berjalan menjauh, enggan meladeni.

"Ambilin selimut, Ner."

"Ambil sendiri!"

Tatapan Raka tertuju ke Nera yang berdiri di dekat pintu. "Jangan lupa janji lo."

Nera seketika menoleh. " Oke gue ambilin selimut!" Raka memang tidak bisa ditantang. Nera berjalan mendekat, mengambil selimut yang berkumpul di bawah kaki lalu menyelimuti Raka sampai sebatas pinggang. "Lo orangnya nekat ya, Ka."

"Lo salah nantangin, Sayang."

Nera mengangguk. "Ner. Gue pengen makan anggur."

Raka melirik buah yang tadi dibawa Birzy. Dari tadi dia tidak bisa memakan buah itu. Lebih tepatnya, tidak bisa menggapai buah yang ada di nakas sebelah kanannya.

"Lo makan sendiri bisa?" tanya Nera sambil mengambil buah anggur untuk Raka.

"Nggak bisa dong, Sayang. Tangan kanan gue masih kaku. Kalau tangan kiri, kan nggak baik makan pakai tangan kiri."

"Masih lebih baik pakai tangan kiri daripada ngerpotin orang lain!" Meski berkata begitu, Nera tetap menyuapi Raka.

Raka memakan buah anggur itu. Dalam hati dia merasa seperti raja yang disuapi oleh dayang-dayang, sayang saja rajanya sedang sakit. "Oh ya sekarang jam berapa?" tanyanya setelah menghabiskan satu potong buah anggur.

Nera mendongak, melihat jam dinding. "Jam sembilan Ka."

"Lo balik aja, Ner, udah malem."

"Yang jagain lo?"

"Di sini banyak suster, kan?" Raka menatap Nera yang mengangguk. Dia kasihan ke Nera. Dari kemarin wanita itu menjaganya sampai tidur di sofa. Sekarang, dia membiarkan wanita itu istirahat di apartemen.

"Beneran? Rachel malem ini jagain lo nggak?"  Semalam Nera menjaga bersama Rachel. Dia hanya bisa tidur dua jam dengan posisi duduk di sofa.

"Enggak! Gue suruh dia istirahat di rumah."

"Gue di sini aja jagain lo."

Raka menggeleng, melihat mata Nera yang berkantung. Semalam dia mendengar Nera beberapa kali menghela napas. Saat dilihat, Nera berusaha mencari posisi terenak di sofa single. "Sayang, lo keliatan capek! Pulang dulu, besok malem baru jagain gue lagi."

Ucapan lembut itu membuat tatapan Nera tertuju ke Raka. Dia menatap Raka intens. Apa dia tidak salah dengar? Raka kali ini sangat peduli kepadanya. Tak seperti beberapa menit yang lalu. Kadang Nera bingung, sifat Raka sebenarnya yang mana.

"Kok malah bengong. Udah cepet pulang sana. Udah malem."

"Baru jam sembilan juga."

"Ner, lo nggak inget waktu lo ditarik preman? Itu masih jam tujuh, Ner. Makin malem malah bahaya."

"Gue sering pulang tengah malem Ka." Nera menjawab.

Raka menghela napas berat karena Nera tidak menuruti perkataannya. "Demi kebaikan lo, Ner."

Nera mencerna ucapan Raka yang ada benarnya. Dia lalu mengangguk, kali ini memutuskan menurut. "Gue balik dulu ya kalau gitu. Besok pagi gue ke sini."

Tatapan Raka mengikuti setiap gerakan Nera. Sekarang wanita itu sedang mengambil tas di atas sofa. "Lo naik apa?"

"Naik taxi." Nera berbalik, melihat Raka yang tampak kaget.

"Lo bawa aja mobil gue." Raka melirik kontak mobilnya yang berada di nakas. Kemarin Nera telah menceritakan bagaimana wanita itu menolongnya setelah dia tidak sadarkan diri.

"Nggak sudah, deh!"

"Ner! Udah bawa aja."

Nera menghela napas. Sebenarnya dia lelah berdebat terus dengan Raka. Akhirnya Nera memilih menuruti lagi perkataan lelaki itu. Dia berjalan ke nakas lalu mengambil kunci mobil. "Gue bawa, ya. Gue balik."

"Hati-hati, Sayang."

Nera yang telah sampai pintu menghentikan langkah. Dia mendengar Raka memanggilnya sayang. Sebenarnya bukan sekali dua kali lelaki itu memanggil seperti itu. Tapi kali ini, Nera merasa panggilan sayang dari Raka lebih tulus. Tidak ada niat godaan sama sekali. Nera menggeleng, tersadar akan apa yang sempat dia pikirkan. Nera lalu buru-buru keluar dari ruangan.

Sedangkan Raka hanya diam. Dia sedang bertanya kepada dirinya sendiri mengapa tadi terlihat begitu perhatian ke Nera. Harusnya Raka tidak bertindak seperti itu. Sebelumnya tidak ada wanita yang Raka perhatikan seperti Nera. Raka membenarkan posisi berbaringnya, lebih baik tidur daripada pikirannya semakin ngawur.

***

Nera berbaring di ranjang. Sudah satu jam lebih dia berbaring, tetapi matanya tak kunjung terpejam. Nera sebenarnya sudah merasakan kantuk, tapi entahlah apa maunya si mata yang tidak kunjung tertutup.

Kali ini, Nera berbaring ke samping. Memeluk gulingnya erat dan memejamkan mata. Dia merelakaskan tubuhnya agar cepat terlelap.

Satu menit.

Dua menit.

Tiga menit.

Empat menit.

Lima menit.

"Ahhh!" Nera mengacak rambut frustrasi. Kenapa dia tidak kunjung tidur? Nera berbaring terlentang. Menatap langit-langit kamar yang berwarna putih gading. Pikiran Nera lalu tertuju ke lelaki yang sekarang ada di rumah sakit. Apa Raka udah tidur?

"Atau terjadi apa-apa sama dia?" gumam Nera. Dengan cepat dia bangkit duduk lalu menggeleng. Mencoba menghilangkan pikiran buruk itu. Nera lalu bergerak ke nakas, mengambil ponsel.

"Shit! Nomernya HP gue yang disita Mira!" Nera memaki. "Semoga dia nggak apa-apa."

Sedangkan di rumah sakit, Raka juga tidak bisa tidur. Kantuknya entah pergi ke mana. Padahal, obat yang dia konsumsi membuatnya ngantuk. Sepertinya tidak mempan untuk Raka.

"Kenapa gue kepikiran Nera?"

Raka ingat saat wanita itu menangis di pelukannya. Saat wanita itu juga menangis setelah dia berkelahi dengan preman. Ingat saat wanita itu tertawa karena godaannya. Ingat saat wanita itu melotot karena kesal dengan ucapannya. Semua berputar layaknya sebuah film di pikiran Raka.

Tangan Raka menyentuh dada. Dia merasa sesak saat mengingat Nera. Hal yang tidak pernah dia rasakan. Sebelumnya dia tidak pernah memikirkan wanita. Yah, setelah dia patah hati dengan cinta pertamanya dulu.

Raka lalu menjauhkan tangan. Tiba-tiba dia ingin mendengar suara Nera. Raka mengambil ponsel yang selalu setia di samping tubuhnya. Dia mencari kontak Nera dengan tangan kirinya.

"Nomor yang ada tuju sedang tidak aktif!"

Raka memencet tombol merah. Selalu tidak aktif. Apa dia ganti nomor?

Conquering LoveWhere stories live. Discover now