15

171 24 1
                                    

Tatapan Nera tertuju ke lelaki yang masih berbaring tidak sadarkan diri. Pagi telah menjelang, tapi lelaki itu belum juga membuka mata. Nera melihat ke lengan kanan Raka yang digips. Wajah Raka kacau, sudut bibir dan pelipis kirinya robek, lalu hidung Raka juga terlihat bengkak.

Nera tidak bisa membayangkan bagaimana rasa sakitnya. Dia pernah dihajar oleh ayahnya karena membangkang. Saat itu dia mendapat tendangan di lengan. Satu minggu lengannya bengkak dan sulit bergerak, Nera saat itu merasakan sakit yang amat hingga tidak mau membangkang lagi. Jadi, dia takut membayangkan sakit yang diderita Raka.

Dari semalam Nera belum kembali ke apartemen. Dia menunggu lelaki itu sadar. Nera ingin mengucapkan terima kasih karena Raka telah menolongnya. Untuk saat ini Nera mencoba melupakan janjinya ke Mira. Demi Tuhan, mana bisa dia menjauh dari lelaki yang semalam menolongnya? Jika kondisi Raka membaik dia akan kembali menjauh.

"Ah!"

Nera bangkit dari posisinya saat mendengar geraman Raka. Dia berdiri di sebelah ranjang dan melihat lelaki itu mengernyit, tampak menahan sakit. Nera kemudian ingat dengan pesan dokter semalam. Dia memencet tombol darurat untuk memanggil suster jaga agar Raka diperiksa.

Setelah memencet tombol, Nera terdiam menatap Raka yang masih saja mengernyit. Dalam hati dia sangat kasihan melihat lelaki yang tampak kesakitan itu. "Lo udah sadar?"

Pagi ini Raka terbangun dengan sekujur tubuh kaku. Dia menggerakkan lengan kanannya, dan membuatnya merintih karena rasa sakit yang timbul. Raka membuka mata, melihat sosok Nera di sebelahnya. Dia kembali memejamkan mata, mencoba mengingat apa yang terjadi.

"Permisi. Saya akan memeriksa pasien terlebih dahulu."

Nera menoleh ke dokter dan suster yang datang. Dia memundurkan tubuh, menjauh dari ranjang Raka agar dokter itu leluasa memeriksa.

Mata Raka yang terpejam serasa ditarik ke atas dan cahaya senter masuk ke matanya. "Shit!" makinya tanpa sadar.

"Maaf, saya menganggu, ya."

Raka menatap dokter lelaki yang sedang memeriksa luka di pelipisnya. Lalu tatapannya tertuju ke suster yang sedang mencatat sesuatu. "Badan saya terasa remuk."

"Lengan kanan Anda patah. Tubuh Anda juga lebam."

Mata Raka kembali terpejam, ingat dengan perkelahiannya dengan dua preman semalam. Perlahan mata Raka terbuka. Dia menoleh ke wanita yang tadi sempat dilihat. Tatapan Raka meneliti Nera yang berdiri di depan meja dari ujung rambut hingga ujung kaki. Pakaian Nera masih sama dengan pakaian semalam. Lalu tatapan Raka tertuju ke mata Nera yang merah dan bengkak. "Lo nggak apa-apa?"

Nera mendekat setelah dokter dan suster itu selesai memeriksa. Dia menarik kursi di sebelah ranjang lalu duduk. "Harusnya pertanyaan itu buat lo. Gimana keadaan lo?"

"Kalau bilang baik-baik aja gue bohong, kan?"

Mau tak mau Nera terkekeh. Dua menatap Raka yang sekarang menatap langit-langit kamar. Nera menarik napas panjang. "Makasih, ya. Semalem lo udah nolongin."

Tatapan Raka tertuju ke Nera yang berkaca-kaca. Raka mengalihkan pandang. Sejujurnya dia enggan melihat Nera yang menangis. Dia merasa ada dorongan dalam dirinya untuk merengkuh wanita itu. Tapi, di sisi lain Raka masih sangat kesal ke Nera. "Hem...." Raka hanya menggumam sebagai jawaban.

Nera melihat Raka kali ini berbeda dengan yang pertama kali ditemui. Dia yakin, lelaki itu masih sangat kesal atas kejadian beberapa bulan yang lalu. "Lo butuh sesuatu?"

Raka melihat Nera yang tampak tulus ingin membantunya. "Ambilin gue minum. Harus."

Nera mengambil air minum di nakas lalu mendekatkan ke bibir Raka. Dia melihat Raka meminum air putih itu dengan cepat. "Lo butuh sesuatu lagi?"

Conquering LoveWhere stories live. Discover now